Lilik Hendarwati Dapati Warga Deles jadi Korban HO di Reses Terakhir

FAKTA – Anggota DPRD Jawa Timur, Lilik Hendarwati, pada reses Minggu (23/11/2025), menerima aduan serius mengenai konflik regulasi di Surabaya yang merugikan komunitas lokal. Masalah ini berfokus pada pengabaian kewajiban penyerapan tenaga kerja lokal dan dampak negatif penghapusan aturan Hinder Ordonnantie (HO) yang dilakukan melalui Permendagri No. 19 Tahun 2017.

Lilik mengakui baru mengetahui detail permasalahan ini dan berkomitmen untuk menindaklanjuti. Ia mengatakan akan mengkomunikasikan masalah ini kepada rekannya yang berada di DPRD Kota Surabaya agar isu ini dapat segera diangkat dan diupayakan jalan keluarnya. “Terima kasih, Pak. Alhamdulillah kebetulan saya reses di sini. Kalau saya tidak reses disini kemungkinan saya tidak tahu masalah ini. Saya akan teruskan ini ke rekan yang ada di kota, ” jawab Lilik.

Aduan utama Eko Bujono, Ketua RW 4, adalah lemahnya penegakan aturan kota mengenai kewajiban perusahaan dalam penyerapan tenaga kerja dari lingkungan sekitar.
Eko menilai, aturan tersebut ada namun implementasinya hanya bersifat simbolis dan temporer, tidak memberikan manfaat nyata bagi warga sekitar. “Di aturan pemerintah kota itu saya pernah baca, bahwa keterlibatan pengusaha terhadap rasa kepedulian terhadap warga untuk memajukan perekonomian warga itu kan harusnya 10% dari jumlah total pekerja, ya. Nah hal itu, cuma hal itu tidak dikuatkan lagi,” ujar Eko Bujono.

Disisi lain, pengusaha kerap menggunakan jalur outsourcing atau alasan ketidakmampuan SDM untuk memberhentikan pekerja lokal. Akibatnya, kewajiban persentase 10% tersebut lama-kelamaan menghilang. “Hanya simbolis saja pertama masuk, lalu dia di-outsourcing-kan ternyata, dikeluarkan-keluarkan, lama-kelamaan nggak ada 1%, kan habis,” katanya.

Masalah kedua yang disoroti adalah penghapusan Izin Gangguan (HO) di Surabaya. Izin HO sebelumnya mewajibkan pengusaha mendapatkan persetujuan warga sebelum mendirikan usaha. Pasca penghapusan saat masa kepemimpinan Tri Rismaharini ketika menjadi Wali Kota Surabaya, proses pendirian usaha kini hanya memerlukan sosialisasi, tanpa harus mendapat izin resmi. “HO itu di Surabaya dihapus. HO itu kan izin gangguan, kan? HO itu salah satu pengusaha apabila mendirikan usaha itu harus dapat izin dari warga. Kalau sekarang hanya sosialisasi,” jelas Eko.

Akibatnya, banyak bisnis beroperasi tanpa adanya kepastian persetujuan komunitas. Eko Bujono mendesak agar DPRD menciptakan aturan baru yang seimbang. “Makanya saya ngomong harusnya HO ini dipertahankan lagi atau diterbitkan lagi atau membuat aturan selain HO. Tapi mirip efeknya, jika HO itu dihapus, dikasih aturan lagi yang bagaimana bisa mempermudah pengusaha dan menguntungkan warga sekitar, harusnya. Nah ini kan harusnya tugasnya DPRD ya, sebagai badan legislator,” jelasnya. (Fa)