KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan telah terjadi pembiaran oleh aparat negara dalam tewasnya petani penolak penambangan pasir, Salim alias Kancil, yang dibunuh di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 26 September lalu.
Usai melakukan olah tempat kejadian perkara dan meminta keterangan dari keluarga Salim alias Kancil, Komnas HAM mengetahui bahwa Salim telah melaporkan adanya intimidasi dari pihak Kepala Desa Selok Awar-awar yang diduga melakukan penambangan liar, kepada Polres Lumajang pada 14 September 2015, tetapi tidak ditanggapi.
Bahkan, ketika terjadi penganiayaan yang berujung tewasnya Salim pada 26 September 2015, Komnas HAM mendapat laporan adanya mobil polisi yang lewat di TKP, “tetapi tidak berhenti”.
“Sudah terjadi pembiaran oleh aparat negara,” ungkap Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, kepada wartawan BBC Indonesia, Rafki Hidayat, Rabu (7/10).
Karena itu, Komnas HAM mendesak penegakan hukum yang tak cuma terhadap warga biasa.
“Pemeriksaan kepada polisi, jangan kepada yang bawahannya saja, karena tidak mungkin mereka bekerja tanpa back up atasannya. Jadi, Kapolres (Lumajang) harus diperiksa juga.”
Ia menambahkan, sejumlah pejabat Pemda Lumajang juga harus diperiksa.
Koordinasi izin tambang
Dalam investigasinya, Komnas HAM menyimpulkan bahwa penolakan Salim dan rekan-rekannya terhadap penambangan pasir di Selok Awar-awar bermula dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambangan ilegal tersebut. Empat petak sawah milik Salim, disebut Siti, rusak akibat rembesan air laut karena semakin tipisnya lapisan pasir di pantai.
Karenanya Komnas HAM meminta pemerintah pusat, pemeritah provinsi, dan kabupaten melakukan koordinasi menyangkut izin tambang.
“Jangan sampai penambangan dilakukan secara barbar. Apalagi ini persoalannya tidak hanya terjadi di Selok Awar-awar. Ini bahkan terjadi hampir di seluruh Indonesia. Pemerintah tidak boleh tidak hadir dan hanya mendiamkan,” ujarnya.
Tersangka
Jumlah tersangka kasus pembunuhan Salim telah mencapai menjadi 37 orang, menurut keterangan Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Timur (Kabid Humas Polda Jatim), Komisaris Besar Argo Yuwono.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap tiga anggota kepolisian. Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Anton Setiadi, mengatakan mereka diduga menerima suap dalam kasus penambangan pasir.
Soal dugaan itu, Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Lumajang, Ajun Komisaris Besar Fadly Munzir Ismail, mengatakan dirinya juga siap diperiksa.
“Saya juga siap diperiksa, jika terbukti akan ada sanksi internal,” katanya.
Pasir mengalir
Pegiat LSM Jaringan Advokasi Tambang, Jatam, Ki Bagus Hadikusuma, mengatakan, proses hukum atas kasus kekerasan di Lumajang itu belum menyentuh “ke mana pasir besi itu mengalir”.
“Karena untuk Desa Selok Awar-awar saja setiap hari ada 300 hingga 400 truk mengangkut pasir besi dibawa keluar Lumajang. Dari setiap truk jatah preman sampai Rp 300.000 per truk. Jadi ke mana uang itu mengalir ?” kata Ki Bagus kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.
Menurut Ki Bagus, pihaknya menduga ada “kelompok besar” yang “bermain” dalam kasus penambangan pasir besi di Lumajang.
“Karena dengan membeli langsung ke pertambangan-pertambangan kecil ini, perusahaan besar bisa menghindari pajak atau royalti,” kata Ki Bagus.
“Kalau kepolisian berniat menuntaskan masalah ini secara tuntas, masalah ini harus diusut,” tandasnya.
Penambangan pasir ilegal di Pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, mencuat setelah kasus penganiayaan dua aktivis antitambang Salim dan Tosan, tiga pekan lalu. Salim kemudian meninggal dan Tosan mengalami luka parah. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com