Daerah  

Ketika Polusi, Mobilitas, dan Kelalaian Publik Kian Menyesakkan Napas Warga Kota Banjarbaru

FAKTA – Banjarbaru kembali diselimuti kabut bukan hanya kabut dari pembakaran sampah atau lalu lintas padat yang mencekik, tapi kabut statistik yang menyesakkan lebih dari 25 ribu warga terserang infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) hanya sampai Agustus 2025.

Angka ini bukan sekadar deretan digit di laporan Dinas Kesehatan. Ia adalah deru batuk dari balita, keluhan sesak di dada para pekerja, dan napas pendek para lansia di ruang tamu sempit dengan ventilasi seadanya.

Kepala Dinas Kesehatan Banjarbaru, dr. Juhai Triyanti Agustina, menyebut peningkatan ini cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya yang mencatat 23.317 kasus. “Yang paling banyak adalah kelompok usia produktif, sekitar 9.393 kasus, disusul balita sebanyak 6.909 kasus,” ujarnya.

Artinya, penyakit ini tidak lagi hanya menyerang anak kecil yang daya tahannya lemah. ISPA kini menjadi penyakit kota lahir dari polusi, perilaku, dan sistem perkotaan yang kian tak ramah pada paru-paru manusia.

“Penyebabnya kompleks. Polusi kendaraan bermotor, pembakaran sampah, dan ventilasi rumah yang buruk adalah faktor utamanya,” jelas Juhai.

Namun, di balik pernyataan itu, ada ironi yang sulit diabaikan. Kota yang dulu dijuluki “kota udara bersih” kini bergulat dengan udara yang tak lagi menyehatkan. Modernisasi datang, tapi kesadaran ekologis tertinggal.

Balita, Remaja, dan Lansia Korban yang Terlupakan

Kelompok usia produktif memang mendominasi, tapi anak-anak dan lansia adalah korban yang paling diam. Balita mencatat 6.909 kasus, sementara remaja usia 10–18 tahun menyusul dengan 3.405 kasus. Bahkan lansia, yang napasnya sudah pendek oleh usia, menanggung 2.510 kasus ISPA.

“Daya tahan tubuh menurun, penyakit penyerta banyak. Lansia menjadi kelompok yang paling berisiko,” tambah Juhai.
Namun, di lapangan, yang terjadi lebih rumit dari sekadar imbauan menjaga pola hidup bersih. Banyak rumah di Banjarbaru masih memiliki ventilasi yang tidak memadai. Pembakaran sampah masih menjadi kebiasaan harian di banyak lingkungan perumahan. Asap motor menjadi latar tetap di jalan-jalan utama kota yang padat.

Dan yang lebih menyedihkan banyak warga tidak menyadari bahwa udara yang mereka hirup saban hari adalah penyebab utama dari keluhan yang tak kunjung reda.

Ketika Polusi Menjadi Budaya

Dalam wawancara dengan Fakta sejumlah pegiat lingkungan di Banjarbaru menilai bahwa pemerintah daerah masih setengah hati mengelola polusi udara. Penegakan larangan pembakaran terbuka sering kali hanya sebatas imbauan, bukan tindakan.

“Polusi di Banjarbaru itu low-level chronic pollution, tidak tampak parah seperti kabut asap besar, tapi menggerogoti perlahan,” kata seorang aktivis lingkungan lokal.

Kondisi itu diperparah oleh mobilitas tinggi masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi. Angkutan umum minim, jalanan padat, dan ruang hijau makin sedikit.

Paradoks pembangunan pun terlihat jelas kota semakin terang, tapi udara semakin gelap.

Harapan yang Masih Bisa Ditarik

Dinas Kesehatan kini mendorong langkah-langkah pencegahan imunisasi, gizi seimbang, dan deteksi dini di Puskesmas. Namun upaya medis saja tak cukup.

Kebijakan lingkungan, tata kota, dan partisipasi warga harus berjalan seiring.

“Kesehatan bukan Cuma urusan dokter. Ia adalah hasil dari cara kita hidup, cara kita membangun, dan cara kita memperlakukan bumi,” ujar dr. Juhai menutup percakapan.

Sore itu, di Banjarbaru, langit tampak abu-abu keperakan antara mendung dan polusi. Anak-anak masih bermain di pinggir jalan, di bawah udara yang mungkin mengandung lebih banyak debu daripada oksigen. Dan mungkin, di situlah tragedi kota ini dimulai bukan dari penyakitnya, tapi dari kebiasaan kita yang menganggapnya biasa. (Stany)