ACARA Campus Social Responbility (CSR) kembali digelar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama 26 kampus dan perangkat daerah terkait. Program yang bertujuan untuk mendampingi anak-anak yang putus dan rentan sekolah sehingga nantinya mereka mau kembali ke bangku pendidikan itu digelar pada Minggu (02/04) di Kebon Bibit Wonorejo, Surabaya.
Program yang kini sudah memasuki tahun keempat itu dihadiri sekaligus dibuka oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, Kepala Dinas Sosial (Dinsos), Supomo, Direktur Program CSR, Atiyun Najah Indhira, beserta adik asuh dan kakak pendamping yang masing-masing berjumlah 400 orang.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, menuturkan, program ini dibuat untuk mewadahi anak-anak yang putus dan rentan sekolah dari berbagai macam faktor mulai dari masalah ekonomi, rumah tangga orangtua yang kurang harmonis, lingkungan sekolah yang kurang nyaman bagi anak-anak (bullying) dan pengaruh dari luar sekolah dan keluarga (obat-obat terlarang dan game).
“Akhirnya mereka bingung harus lari kemana atau cerita ke siapa. Oleh karenanya saya meminta kepada kakak-kakak pendamping (mahasiswa/siswi) yang terlibat agar mampu mengembalikan mereka ke bangku pendidikan sesuai dengan pembekalan yang sudah diterima,” kata Bu Risma di sela-sela acara.
Namun, lanjut Bu Risma, tidak mudah memang mengembalikan anak-anak tersebut ke bangku pendidikan sebab selama ini mereka sudah telanjur berada di zona nyaman. Oleh karena itu dibutuhkan pendampingan secara serius, motivasi, membangun mental agar mereka tidak merasa rendah diri dan membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan.
“Jika tidak didampingi atau diwadahi seperti ini, bisa menakutkan nasib mereka di kemudian hari,” ungkap Bu Risma.
Tak lupa Bu Risma mengucapkan banyak terima kasih kepada kakak-kakak mahasiswa yang mau terlibat dan peduli kepada adik-adiknya yang mengalami masalah sosial dan pendidikan.
“Kalian semua yang ada di sini telah melakukan perintah Tuhan dengan berbuat baik bagi sesama,” imbuh Mantan Kepala Bappeko Surabaya tersebut.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Sosial, Supomo. Dirinya mengatakan, dengan adanya program ini jumlah laporan anak yang putus dan rentan sekolah dari kecamatan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
“Peningkatan ini tidak lepas dari peran mahasiswa yang terus menggalakkan dan membangun komunikasi dengan para orangtua dan pihak sekolah yang tengah menghadapi permasalahan anak putus dan rentan sekolah,” tutur Soepomo.
Ditanya soal sistem penyeleksian, Supomo kembali menjelaskan beberapa tahapan yang harus dilalui oleh mahasiswa yang ingin terlibat di antaranya tes kepribadian, tes intelektual, dan terakhir melakukan Forum Group Discussion (FGD). Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana mereka dapat mendampingi anak-anak yang mengalami putus dan rentan sekolah sehingga mampu mengembalikan mereka ke bangku pendidikan.
“Namun yang paling utama dalam penyeleksian ini adalah melihat kemauan mereka untuk mau mendampingi anak putus dan rentan sekolah dan bagaimana strategi mereka membagi waktu antara kuliah dan pendampingan,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Program CSR, Atiyun Najah Indhira, juga menjelaskan bahwa sebelum terjun ke lapangan untuk bertemu orangtua dan melakukan pendampingan agar anak-anak tersebut mau kembali bersekolah, mahasiswa pendamping diberi pembekalan seperti teknis pendampingan, manajemen waktu dan parenting (pola pengasuhan anak yang baik).
“Tujuannya agar mahasiswa mampu menjelaskan kepada orangtua murid mengenai pentingnya pendidikan serta mau mendorong anaknya agar kembali bersekolah,” ujar wanita berjilbab tersebut.
Ayun atau yang akrab dipanggil Atiyun menambahkan, jumlah anak didik dan kakak pengasuh dari tahun ke tahun terus meningkat. Ia mencontohkan di tahun 2016 sebanyak 301 anak yang mengalami putus dan rentan sekolah masing-masing 135 anak mengalami putus sekolah sedangkan rentan putus sekolah sejumlah 166 anak. “Selama satu tahun masa pendampingan, akhirnya diperoleh 114 anak yang mau kembali bersekolah,” ungkap Ayun.
Buah manis yang dilakukan para mahasiswa selaku pendamping anak putus sekolah diikuti oleh mahasiswa yang lain, seperti Aprilia Kartika Wulandiri (19), mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hang Tuah Surabaya. Ia mengatakan, selain banyak mendengar cerita dari mahasiswa lain terkait proses pedampingan ini, dirinya juga ingin mengabdi kepada anak-anak Surabaya yang mengalami nasib kurang beruntung.
“Mengingat bukan orang Surabaya maka saya ingin berkontribusi lebih untuk Surabaya,” ungkap April.
Ditanya harapan mengikuti acara ini, April (panggilan akrabnya) mengungkapkan agar acara ini dapat terus berlangsung. Dan,”selalu sukses dan semakin bertambah minat mahasiswanya untuk mau terlibat dalam program ini,” tutup perempuan asal Bekasi tersebut. (Rilis)