“VIRA, ayo pulang, Nak. Sudah malam”.
“Tidak! Vira tidak mau pulang ke rumah sampai papa datang dari luar kota. Mama saja yang pulang,” sahut Vira dengan nada tinggi membalas rayuan mamanya untuk yang kesekian kalinya.
“Iya, tapi ini sudah malam, sayang. Tya dan keluarganya mau istirahat. Besok pagi ke sini lagi kan bisa?!”
Vira cuma diam merengut sambil memalingkan muka ke arah lain, sementara mamanya kembali menghela nafas panjang menghadapi putrinya yang masih tetap dengan keinginannya. Tya dan Bunda-nya agak segan juga melihat perdebatan kecil antara Vira dengan mamanya di ruang tamu.
“Maaf ya, Bu. Vira memang sering begitu. Apa pun keinginannya harus dituruti. Ini akibat dari sikap papanya yang terlalu memanjakan Vira. Padahal papanya sudah seminggu ini kerja di luar kota, akhimya yang repot ya saya sendiri,” keluh mama Vira dengan lirih.
“Maklum anak-anak, Bu. Kadang kalau kambuh manjanya, Tya juga pernah ngambek seperti itu,” sahut Bunda seraya mengedipkan matanya, memberi kode ke arah Tya. Tya tersenyum malu mendengarnya.
“Mungkin Vira masih emosi, biarin saja dia bermalam di sini, Bu. Lagipula besok kan hari Minggu, libur sekolah,” lanjut Bunda menengahi, mencoba menghibur mama Vira yang sudah terlihat letih.
Itulah adegan yang sempat berlangsung sejam yang lalu. Tya melirik jam beker di meja belajarnya, menunjukkan pukul sembilan malam. Sementara Vira yang berbaring di sampingnya masih asyik membolak-balikkan majalah yang dibacanya. “Vira, sudah malam. Tidur, yuk!” ajak Tya agak ragu.
“Sebentar lagi, Tya. Kamu tidur duluan, deh!” jawab Vira cuek.
Tya merapatkan kembali selimut ke badannya. Sebenarnya ia sudah tidak kuat menahan rasa kantuknya, tapi terpaksa ia tahan, karena tidak tega meninggalkan temannya yang masih bangun sendirian. “Tya, besok antarkan aku ke counter HP dekat taman kota, ya?!”
“Counter HP ? Mau ngapain ?” jawab Tya heran.
“Cuma mau lihat-lihat dulu, sih. Nanti kalau ada yang cocok, aku akan minta ke papaku untuk membelikannya,” ujar Vira dengan senyum mengembang.
“HP kamu kan bagus dan masih baru?”
“Ih Tya! Tapi HP-ku kan masih kalah bagus dengan punya Lely. Warna dan fasilitas di dalamnya masih lebih canggih punya Lely. Mamaku pelit, makanya aku mau minta ke papaku saja untuk membelikan HP aku seperti punya Lely,” sergah Vira membela diri.
Tya merenung sesaat mendengarkan celoteh Vira di sampingnya, seraya menduga-duga sendiri, mungkin karena HP yang membuat Vira ngambek ke mamanya sejam yang lalu. Tya tidak jarang membayangkan, alangkah enaknya menjadi putri tunggal seorang pengusaha sukses seperti Vira. Hampir semua yang diinginkannya segera bisa terpenuhi. Padahal baru tiga minggu yang lalu Vira memamerkan HP barunya. Tiga hari berikutnya, Vira pamer tas baru. Lalu di lain hari, pamer sepatu baru, sepeda baru dan hampir tiap berganti hari selalu ada yang terbaru dari milik Vira yang ia pamerkan ke teman-teman sekolahnya. Sepertinya, mewujudkan keinginan adalah hal yang mudah bagi Vira. Tapi, Tya sama sekali tidak mengira, karena mama Vira sendiri ternyata sempat mengeluh dan kewalahan juga menghadapi sikap dan keinginan-keinginan putrinya, yang maunya harus segera dipenuhi.
Minggu pagi yang cerah. Tya mengayuh sepedanya dengan santai, sambil mendengarkan cerita-cerita Vira yang ia bonceng di belakangnya sepanjang jalan, menuju counter HP dekat taman kota, sesuai permintaan temannya itu. “Kita lewat jalan pintas, ya?” sela Tya memotong celoteh Vira.
“Iya, deh, biar cepet sampai. Kata Lely, di counter HP dekat taman kota itu modelnya bagus-bagus. Aku jadi tidak sabar ingin segera melihatnya,” ujar Vira dengan semangat.
Tya terus mengayuh sepedanya, melewati area belakang pasar kampung yang kumuh. Sepanjang jalan terlihat berjajar rumah-rumah mungil terbuat dari kardus bekas dan lembaran seng berkarat sebagai atapnya. Sesekali tampak bocah-bocah kecil bermain berlari-larian dengan bertelanjang dada, dan tanpa alas kaki. Sementara anak-anak sebayanya, tampak sibuk membantu kedua orangtua mereka. Ada yang mengais-ais sampah, memilah-milah barang rongsokan, ada yang berjualan kue-kue, ada yang lagi asyik menyemir sepatu para pembeli nasi di warung pojok jalan, ada juga yang mengamen dari warung ke warung dengan suara khas mereka. Sungguh pemandangan yang sibuk. Semua beraktifitas mencari rejeki, tak peduli panas mentari yang hampir terik. Segala usia menggeliat dengan penuh semangat kerja, tiada kenal hari libur, dan seolah juga tak kenal rasa malu dan lelah.
Counter HP sudah semakin dekat. Tya baru menyadari, sejak ia melalui jalan belakang pasar, tidak sekalipun ia mendengar celoteh Vira lagi.
“Vira, kamu tertidur, ya?! Kok tidak ada suaranya?” goda Tya ke Vira yang masih duduk membonceng di belakangnya, tapi tetap tidak ada sahutan dari temannya itu.
Tya menghentikan sepedanya, lalu memarkirnya tepat di samping counter HP. Setelah turun dari sepeda, dilihatnya ke belakang. Tya terkejut melihat mata Vira merah, seperti habis menangis. “Vira, mata kamu sakit kena debu, ya? Atau, kamu habis menangis?” desak Tya keheranan.
Vira masih terdiam dan berjalan ke arah bangku kosong tempat istirahat tukang parkir. Masih dengan perasaan bingung, Tya menyusul berjalan di belakang Vira.
“Terima kasih, Tya. Kamu telah menyadarkan aku dari sifat manjaku selama ini. Apa pun yang kuinginkan seolah harus segera dipenuhi. Aku tidak pernah peduli, betapa susahnya mama dan papa bekerja keras demi aku. Bahkan aku justru lebih sering membuat mereka sedih.” Vira mulai bersuara, meski terdengar lirih. Tapi Tya masih juga bingung dengan maksud dan arah pembicaraan Vira.
“Sepanjang jalan tadi, aku banyak belajar dari orang-orang dan anak-anak yang kujumpai. Mereka, seolah tidak pernah mengeluhkan keadaannya yang serba kekurangan. Mereka tidak malu bekerja, meski usianya masih belia seperti aku. Aku yakin, pasti mereka juga ingin memiliki baju baru, sepeda baru, sepatu baru, atau yang lainnya. Tapi mereka mesti bekerja dulu untuk mewujudkannya. Aku malu pada mereka. Aku bisanya selama ini cuma merengek dan menuntut mama dan papa untuk memenuhi semua keinginanku. Aku menyesal, Tya….” lanjut Vira sambil berulang kali mengusap air mata yang kembali membasahi pipinya.
Tya memeluk Vira. Tya mulai memahami kesedihan yang dirasakan oleh temannya saat itu. “Maafkan aku, Vira. Aku tidak sengaja mengajakmu lewat jalan tadi, dan aku juga tidak bermaksud membuatmu sedih begini”.
Vira melepaskan diri dari pelukan Tya, dan mencoba tersenyum ke arah Tya. “Kamu tidak salah, justru aku berterima kasih sama kamu. Meski tidak sengaja, tapi kamu telah berhasil membantu menyadarkan kemanjaanku selama ini. Antarkan aku pulang, ya?”
“Pulang? Katanya mau lihat-lihat model HP baru?” sahut Tya kaget.
“Aku tidak minat lagi. Aku cuma ingin pulang, dan minta maaf ke mama. Aku tidak mau membuat orangtuaku sedih lagi.”
Tya tersenyum lega, dalam hati ia bersyukur mendengar pengakuan Vira barusan,”Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”. (Siti Nur Imamah)