Kasus Senjata Api Ilegal, Warga Banyuasin Didakwa 6 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Ajukan Pledoi Kemanusiaan

FAKTA – Seorang warga Banyuasin, Sumatera Selatan, bernama Hendri Markowi, resmi didakwa enam tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kepemilikan senjata api ilegal jenis revolver dan tiga butir amunisi.

Dakwaan dibacakan di Pengadilan Negeri Palembang, Senin (6/10/2025), oleh tim JPU yang terdiri dari Hera Ramadona, S.H., M. Anugra Agung Saputra, S.H., M.H., dan Mita Hasibuan, S.H., M.H.

Jaksa menilai Hendri terbukti secara sah melanggar Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api tanpa izin resmi. Pasal ini mengancam pelaku dengan pidana penjara maksimal seumur hidup atau hukuman mati.

Dalam persidangan yang berlangsung terbuka, tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Penyandang Disabilitas Indonesia (LBH PEDI) yang diketuai Muchtar Luthfi, S.H.—yang juga dikenal sebagai wartawan Majalah Fakta—menyampaikan nota pembelaan (pledoi) atas nama terdakwa.

“Kami memohon majelis hakim mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan keadilan materil. Terdakwa bukan pelaku kriminal, melainkan warga desa yang tidak memahami konsekuensi hukum dari kepemilikan senjata api,” ujar Luthfi di ruang sidang.

Dalam pledoi tersebut, pihak pembela meminta agar majelis hakim memberikan putusan seringan-ringannya, mengingat terdakwa tidak memiliki niat jahat dan tidak memahami bahaya hukum dari kepemilikan senjata api.

Tim pembela juga mengungkap fakta bahwa senjata api tersebut merupakan titipan dari atasannya yang bernama Ping, kepala satuan pengamanan (satpam) di PT Java, tempat Hendri sempat bekerja.

“Senjata itu dititipkan untuk keperluan jaga malam di perusahaan. Setelah Ping meninggalkan pekerjaannya, Hendri hanya menyimpannya sembari menunggu pemiliknya mengambil kembali,” jelas kuasa hukum.

Menurut pembelaan, terdakwa sempat berniat menyerahkan senjata itu ke pihak berwenang, namun merasa takut justru akan dipidana. Kebingungan dan ketakutan itu membuatnya menyimpan senjata tersebut hingga akhirnya kasus ini terbongkar.

Kuasa hukum juga menyoroti kondisi kejiwaan terdakwa. Berdasarkan catatan medis, Hendri pernah dirawat di rumah sakit jiwa pada Agustus 2015 karena gangguan psikis yang dideritanya sejak 2013.

Bahkan, terdakwa pernah menjalani hukuman dalam kasus penganiayaan ringan pada 2015 di Pengadilan Negeri Pangkalan Balai (perkara nomor 512/Pid.B/2015/PN.Pkb), namun dibebaskan lebih cepat karena kondisinya kembali terganggu secara mental.

Dengan dasar itu, pembela menilai kasus ini seharusnya juga memperhatikan Pasal 44 ayat (1) KUHP, yang mengatur bahwa seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipidana secara penuh.

Dalam nota pembelaannya, tim LBH PEDI menekankan bahwa Hendri merupakan tulang punggung keluarga yang menanggung istri, anak, dan orang tua lanjut usia. Ia juga dinilai bersikap sopan dan kooperatif selama proses hukum berlangsung.

“Kami berharap majelis hakim mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan memberikan putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono),” tutup Muchtar Luthfi. (Laporan : ito||majalahfakta.id)