Semua  

Jurnalisme dan DNA Berpikir: Dari Penerima Informasi Menjadi Penjaga Nalar Publik

Oleh : Syafrial Suger (Wartawan FAKTA)

FAKTA – Menjadi jurnalis bukan sekadar menekuni sebuah profesi, melainkan menjalani proses pembentukan cara berpikir yang panjang dan disiplin. Di ruang redaksi yang riuh oleh perdebatan, di lapangan liputan yang sering kali penuh ketidakpastian, serta di bawah tekanan tenggat waktu, jurnalisme secara perlahan menanamkan satu kebiasaan intelektual yang khas—sebuah DNA berpikir.

Inilah yang membedakan jurnalis dari kebanyakan konsumen informasi, kemampuan untuk tidak sekadar menerima, tetapi menimbang, menyaring, dan mempertanggungjawabkan setiap fakta kepada publik.

DNA berpikir ini tidak lahir dari bakat alamiah semata. Ia terbentuk melalui latihan yang berulang dan melelahkan, dan bertanya tanpa henti, meragukan dengan alasan yang sahih, memverifikasi dengan metode yang ketat, serta menyadari konsekuensi sosial dari setiap kata yang dipublikasikan.

Dalam proses itu, jurnalisme membentuk watak intelektual dengan cara memandang dunia yang lebih waspada, lebih dalam, dan lebih bertanggung jawab.

Pengalaman ini pernah diungkapkan Tina Talisa, jurnalis sekaligus pembawa acara, yang menyebut bahwa kerja jurnalistik mengubah cara seseorang memproses informasi. Dari semula menjadi penerima pasif, jurnalis dipaksa menjadi penyaring aktif.

Setiap pernyataan pejabat, data statistik, atau klaim di media sosial tidak lagi diterima apa adanya, melainkan diuji dengan pertanyaan mendasar. Siapa yang berbicara, apa kepentingannya, di mana dan kapan peristiwa terjadi, mengapa ia penting bagi publik, serta bagaimana fakta-fakta itu saling terhubung dalam konteks yang lebih luas.

Dalam jurnalisme, skeptisisme bukanlah sinisme yang apriori menolak kebenaran. Ia adalah kewaspadaan metodologis, kesadaran bahwa informasi, bahkan yang datang dari sumber berotoritas, selalu berpotensi mengandung bias, kepentingan, atau kekeliruan.

Karena itu, berita tidak boleh berdiri di atas satu sumber. Prinsip check and recheck bukan slogan kosong, melainkan fondasi kerja. Latihan ini membentuk refleks mental, tidak mudah percaya, tetapi juga tidak serta-merta menolak. Jurnalis belajar menunda kesimpulan hingga fakta-fakta terkonfirmasi. Di era banjir informasi, hoaks, dan manipulasi algoritma, refleks semacam ini menjadi semakin relevan. Bukan hanya bagi jurnalis, tetapi bagi kesehatan ruang publik yang kerap disesaki kabar setengah benar.

Jurnalisme hidup dari rasa ingin tahu. Namun, rasa ingin tahu ini bukan yang sensasional atau dangkal, melainkan yang sistematis dan berorientasi pada kepentingan publik. Pertanyaan “apa yang terjadi” selalu diikuti oleh “mengapa ini terjadi” dan “apa dampaknya bagi masyarakat”. Dari sinilah lahir kebiasaan menggali the story behind the story—cerita di balik peristiwa.

Rasa ingin tahu ini mendorong jurnalis melampaui pernyataan resmi dan konferensi pers. Ia menuntut penelusuran konteks sejarah, kebijakan, dan data pembanding.

Dalam jangka panjang, kebiasaan ini membentuk cara berpikir yang tidak puas pada jawaban permukaan. Dunia tidak lagi dilihat sebagai potongan peristiwa yang terpisah, melainkan sebagai rangkaian sebab-akibat yang saling terkait.

Objektivitas dalam jurnalisme kerap disalahpahami sebagai ketiadaan nilai atau sikap netral absolut. Padahal, ia lebih tepat dipahami sebagai disiplin kerja. Upaya sadar untuk memberi ruang pada berbagai sudut pandang, memisahkan fakta dari opini, dan menyajikan informasi secara adil.

Seorang jurnalis yang matang menyadari bahwa ia tidak pernah sepenuhnya steril dari latar belakang ideologis, budaya, atau pengalaman personal. Justru kesadaran inilah yang melahirkan kehati-hatian.

Objektivitas bukan klaim moral, melainkan proses yang terus diperjuangkan, mendengar pihak yang berbeda, menguji argumen yang berseberangan, dan memberi pembaca bahan yang cukup untuk menilai sendiri. Jika ada satu kata kunci yang paling membentuk DNA berpikir jurnalis, verifikasi barangkali adalah jawabannya. Proses konfirmasi data, pengecekan silang sumber, dan validasi dokumen bukan sekadar prosedur teknis, melainkan kebiasaan mental.
Ia mengajarkan bahwa kebenaran jurnalistik tidak boleh dikorbankan demi kecepatan.

Di tengah tekanan klik, viralitas, dan tuntutan real-time reporting, verifikasi menjadi pagar etis. Ia menuntut kesabaran dan kerendahan hati, kesediaan untuk menahan berita, mengoreksi diri, bahkan mengakui kesalahan. Kebiasaan ini, ketika melekat, menjadikan jurnalis alergi terhadap hoaks dan manipulasi, bahkan dalam kehidupan pribadinya sebagai warga.

Jurnalisme yang matang tidak berhenti pada pelaporan peristiwa, tetapi bergerak menuju analisis. Di sinilah DNA berpikir jurnalis semakin terlihat, dengan kemampuan melihat pola, menghubungkan data, dan menempatkan fakta dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi yang lebih luas.
Kemampuan analitis ini dibentuk oleh tuntutan untuk menjelaskan, bukan sekadar mengabarkan.

Mengapa sebuah kebijakan berdampak demikian? Apa implikasi jangka panjangnya? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Pertanyaan-pertanyaan ini melatih cara berpikir struktural dan sistemik, dan sebuah keterampilan yang kian langka di tengah budaya serba instan.

Transformasi digital memaksa jurnalis untuk terus beradaptasi. Platform berubah, algoritma menentukan jangkauan, dan audiens semakin terfragmentasi. Namun, di balik perubahan teknologi, DNA berpikir jurnalistik justru diuji, bagaimana menjaga akurasi di tengah kecepatan, bagaimana mempertahankan kedalaman di tengah keterbatasan atensi.

Adaptasi ini membentuk fleksibilitas kognitif. Jurnalis belajar memanfaatkan teknologi baru dengan data journalism, kecerdasan buatan, analitik audiens—tanpa kehilangan prinsip dasar. Medium boleh berubah, tetapi etika dan metode berpikir tidak boleh ditinggalkan.

Pada akhirnya, DNA berpikir jurnalis bermuara pada satu kesadaran mendasar. Setiap informasi yang dipublikasikan memiliki dampak. Berita dapat mencerahkan, tetapi juga melukai. Ia bisa memperkuat demokrasi, tetapi juga memicu kepanikan, stigma, atau prasangka. Kesadaran inilah yang menanamkan tanggung jawab etis. Jurnalis tidak hanya bertanya, “apakah ini benar?”, tetapi juga “apakah ini perlu?” dan “bagaimana cara menyampaikannya?”.

Pertimbangan ini menjadikan jurnalisme lebih dari sekadar pekerjaan. Ia adalah laku intelektual dan moral. Menjadi jurnalis, dengan demikian, adalah proses panjang pembentukan cara berpikir. Skeptis namun terbuka, kritis namun adil, cepat namun cermat.

Pola pikir ini, setelah bertahun-tahun ditempa, melekat seperti DNA, dan dapat mempengaruhi cara seseorang membaca dunia, menilai informasi, dan mengambil sikap sebagai warga publik.

Di tengah zaman yang kerap bising oleh opini dan kepentingan, DNA berpikir jurnalistik menjadi salah satu benteng terakhir bagi nalar bersama dan demokrasi yang sehat. (*)