Jejak Gelap SKTL Tambakasri, Kabupaten Malang, BPN Angkat Bicara : Tidak Ada Program SKTL

FAKTA – Isu penyalahgunaan wewenang di Desa Tambakasri, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, semakin menimbulkan tanda tanya besar.

Setelah sebelumnya ramai diberitakan soal dugaan pungutan liar dalam pengurusan Surat Keterangan Tanah Letter C (SKTL), tim investigasi media ini kembali melakukan penelusuran untuk memastikan kebenaran di balik polemik tersebut.

Penelusuran membawa tim ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Malang di Jl. Terusan Kawi No. 10, Kecamatan Klojen. Kasubag TU BPN Malang, Giono, menegaskan bahwa SKTL bukanlah program resmi pemerintah.

“Tidak ada program SKTL, mas. Mungkin itu hanya inisiatif dari desa sendiri untuk mempermudah nantinya dalam kepengurusan PTSL, sekaligus sebagai data awal,” ungkap Giono.

Giono meluruskan, program yang ada hanyalah Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), dengan biaya resmi Rp150.000 khusus wilayah Jawa dan Bali. Biaya itu sudah jelas diatur dalam SKB 3 Menteri dan menghasilkan Sertifikat Hak Milik (SHM).

“Semua kebijakan pasti ada dasar hukumnya, tidak bisa mematok nominal tanpa landasan hukum,” tegasnya.

Sementara itu, dugaan pungutan liar semakin kabur setelah muncul pernyataan FRD, salah seorang warga yang disebut ikut membantu program SKTL. Dalam keterangannya kepada sebuah media online, FRD membantah adanya pungli.

Ia bahkan menyebutkan bahwa uang Rp1.350.000 yang dikeluarkan adalah “duit sendiri” tanpa ada paksaan dari pihak desa. “Misal kita bayar Rp100 juta pun itu urusan kita,” ujar FRD santai.

Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan tanda tanya baru. Jika program resmi PTSL hanya Rp150 ribu, mengapa warga mengeluarkan dana hampir sepuluh kali lipat dari ketentuan ? Apalagi jika hal itu dilakukan dalam skema yang tidak memiliki payung hukum jelas.

Menanggapi pengakuan tersebut, Giono dari BPN mengaku terkejut. Ia menegaskan, angka-angka di luar ketentuan resmi tidak bisa dibenarkan, karena seluruh proses sertifikasi sudah diatur secara nasional.

“Kalau ada nominal lain di luar aturan, jelas itu tidak bisa dijadikan dasar. Prosesnya sudah ada regulasi yang mengikat,” kata Giono.

Pernyataan ini seolah mengunci adanya kejanggalan. Apakah “inisiatif desa” yang dimaksud hanyalah kedok untuk menarik pungutan di luar ketentuan resmi?

Polemik SKTL Tambakasri kini berada di persimpangan antara klarifikasi, pembelaan, dan kecurigaan publik. Bagi warga yang sudah mengeluarkan biaya besar, transparansi menjadi harga mati.

Tim investigasi media ini akan terus menggali lebih dalam, termasuk menelusuri dokumen, kesaksian warga, hingga kemungkinan adanya pola sistematis dalam “inisiatif desa” yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang.

Kasus ini bukan hanya soal biaya pengurusan tanah, melainkan juga soal integritas aparat desa dan kepastian hukum bagi masyarakat kecil. (Jerry/tim)