Semua  

Jangan Tangisi Aku

Jangan Tangisi AkuUNTUK kesekian kalinya, Tya harus menyaksikan Yana, teman sekelasnya, itu tengah kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Perutmu sakit lagi, Yan?” tanya Tya dengan agak ragu. Yana cuma mengangguk pelan, dan sepertinya tak mampu lagi berbicara, yang terdengar hanyalah rintihan kesakitan yang menderanya.

Yana adalah salah satu teman sekelas Tya. Sebenamya dia anak yang pendiam. Tapi setiap ia bicara, teman-temannya yang mendengarkan pasti langsung ketawa, karena ia ternyata humoris juga. Yana suka nyeletuk kalau ada teman-temannya yang ngobrol di dekatnya, meski ia tidak dilibatkan dalam pembicaraan mereka. Tapi, teman-temannya tidak pernah tersinggung dengan sikap Yana itu, karena komentar lucunya justru membuat teman-teman yang mendengarnya jadi tertawa.

Yana selalu berebut sama Nila dan Ayu untuk duduk sebangku dengan Tya. Tya sendiri juga heran dengan sikap teman-temannya itu. Tapi, ia tidak pemah menolak dengan siapa pun dia akan duduk sebangku, termasuk dengan Yana. Tapi, Tya selalu cemas di saat duduk sebangku dengan Yana, karena dia hampir selalu menyaksikan penderitaan Yana yang bermasalah dengan sakit perutnya tersebut.

“Kamu habis makan apa lagi sih, Yan?” tanya Tya lagi, dengan nada cemas. “Aku tadi habis makan rujak di kantin, tapi pedasnya cuma sedikit kok”. Ganti Tya yang menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pengakuan Yana barusan.

“Yana, kamu sudah tiga kali Io masuk rumah sakit, belum kapok juga. Ya ?!” sahut Tya keheranan. “Yang merasakan sakitnya gimana kan kamu sendiri. Tidak usah makan yang aneh-aneh dululah biar kamu sembuh total. Yuk, aku antarkan pulang,” sambung Tya lagi.

“Tapi kan nanti setelah jam istirahat ada hafalan pelajaran agama, Tya ?!” jawab Yana sambil meringis kesakitan. “Ah, sudahlah. Jangan pikirkan itu dulu. Yang penting, kamu kuantarkan pulang sekarang, biar bisa istirahat tenang di rumahmu. Nanti aku yang akan mintakan ijin buat menunda hafalan kamu ke Bu Fatimah. Aku yakin, Bu Fat pasti tidak akan mempermasalahkannya”. “Tapi, kamu janji ya Tya untuk menuliskan Asmaul Husnah buat hafalan besok, kalau aku sudah masuk sekolah lagi”.

“Insya Allah. Nanti deh sehabis mengantarkan kamu pulang pasti akan langsung aku tuliskan buat kamu, oke ?” ujar Tya mencoba meyakinkan teman sebangkunya itu.

Obrolan itu memang baru Rabu kemarin terjadi di kelasnya. Dan, Kamis sorenya, bersama Nila, Ayu dan beberapa teman sekelasnya, Tya kembali menyaksikan Yana tergolek lemah lagi di ranjang rumah sakit. Yana baru saja menjalani operasi pemotongan usus besarnya sepanjang 12 cm. Dan, operasi ini sudah yang keempat kalinya dirasakan Yana semenjak ia mendapatkan operasi usus buntu lalu operasi karena infeksi pencernaan, dan terakhir yang Tya dengar, Yana mendapatkan operasi ketiga karena pembengkakan usus besarnya.

Tya tidak kuasa menahan isak tangisnya yang tertahan mulai saat memasuki kamar perawatan Yana. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kanan Yana yang terpasang slang infus, sementara mulutnya tidak henti-henti melafadzkan doa untuk sahabatnya yang masih terpejam matanya belum sadarkan diri itu.

Setiap kali mendengar kabar Yana masuk rumah sakit, Tya sudah merasakan seperti kehilangan sesuatu dalam hidupnya, karena tidak terdengar lagi suara canda dan tawa Yana di sampingnya, meski itu hanya sementara dan akan terdengar lagi suara Yana saat dia masuk sekolah lagi. Meski sering mendapatkan vonis sakit tapi semangat belajarnya tidak pernah luntur. Itulah satu hal yang dikagumi Tya pada kepribadian Yana. Tanpa disadarinya, Yana menggoyang-goyangkan tangan kanan Tya dengan pelan. Tya sempat terperangah, tapi sahabatnya itu malah tersenyum ke arahnya meski masih tampak terkesan lemah.

“Tya, jangan tangisi aku. Tidak lama lagi pasti aku sudah sembuh,” bisik Yana lirih sambil terus tersenyum menatap Tya dan memandangi satu per satu wajah teman-temannya yang ikut menjenguknya. Tya dan teman-temannya yang lain membalas tersenyum kea rah Yana, tapi tetap saja tidak mampu menyembunyikan isak tangis sedih mereka.

“Kamu sudah menuliskan Asmaul Husnah untuk hafalanku, Tya ?” tanya Yana lagi kea rah Tya, dan Tya cuma membalasnya dengan anggukan pelan, seraya mengeluarkan selembar kertas hafalan yang ditulisnya untuk Yana. “Terima kasih. Sudah, jangan tangisi aku lagi ya, paling besok aku sudah bisa masuk sekolah lagi kok,” lanjut Yana dengan masih tersenyum.

Kejadian dua hari itu adalah yang terakhir Tya bertemu langsung dan mendengar suara sahabatnya itu meski dalam keadaan sakit. Karena hari-hari berikutnya Tya tidak sempat menjenguk Yana di rumah sakit lagi. Sebab dia dan teman-teman sekolahnya lagi konsentrasi dengan ujian semester yang sampai hari ini juga masih berlangsung. Dan, Tya tidak pernah menyangka bahwa itu ternyata juga hari-hari terakhirnya berjumpa dengan Yana untuk selama-lamanya.

Senin pagi di tengah-tengah seriusnya Tya mengerjakan lembar soal ujian, dari kantor sekolah terdengar suara pengumuman duka cita atas meninggalnya seorang teman yang sangat ia kenal namanya. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un ! Ya Allah, ini tidak mungkin !” Spontan Tya ambruk menangis di atas mejanya dan membasahi lembar ujian yang dipegangnya. Sementara teman-temannya langsung menghambur kea rah Tya untuk menenangkannya.

“Tya, sabar. Ini takdir Allah. Kita semua juga sedih, Yana adalah sahabat terbaik kita semua. Relakan kepergian Yana ya Tya, istighfar Tya”. Kalimat teman-temannya itu masih terus menggema di telinga Tya. Meski ia mencoba untuk menenangkan isak tangisnya sendiri tapi dadanya masih terasa sesak mendengar kabar yang tidak ia duga sama sekali, yang terjadi begitu cepat. Hingga saat ini ketika dia dan teman-teman sekolahnya juga para guru mengantar jenazah Yana ke pemakaman, tempat peristirahatan terakhir Yana.

“Jangan tangisi aku, Tya”. Kata-kata terakhir Yana itu juga turut menguatkan hatinya untuk menepis kesedihan yang ia rasakan sangat dalam. Akhirnya, Tya pun mencoba merelakan kepergian temannya itu untuk selama-lamanya. Semua makhluk Allah pasti akan kembali kepada Penciptanya, termasuk dirinya. “Astaghfirullohal’adzim. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Semoga kamu termasuk hamba terkasih di sisi Allah. Selamat bersua dengan Allah lebih dulu, Yana. Aku kan terus mendoakanmu,” bisik Tya dalam hati diiringi tetes air mata yang masih terus bergulir membasahi kedua pipinya. (Nur Imamah)