Utama  

Jalan Panjang Mengakui Rumah Orang Rimba

Dalam kunjungannya bertemu dengan Orang Rimba, Presiden Jokowi memberikan Kartu Indonesia Sehat dan bantuan makanan
Dalam kunjungannya bertemu dengan Orang Rimba, Presiden Jokowi memberikan Kartu Indonesia Sehat dan bantuan makanan

PERTEMUAN Presiden Joko Widodo dengan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas membawa masyarakat adat ini pada perhatian nasional. Dalam dialog tersebut, muncul tawaran pemerintah untuk membangun rumah dan menyediakan lahan bagi mereka di luar hutan.

Presiden Jokowi sebenarnya bukan yang pertama menawarkan rumah buat Orang Rimba. Pada 2001, Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sudah terlebih dulu menetapkan rumah buat mereka, yaitu Taman Nasional Bukit Dua Belas.

Langkah Presiden Jokowi menawarkan rumah buat masyarakat adat nomaden ini mendapat kritikan, tetapi lembaga pendamping Orang Rimba, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, mengatakan tawaran presiden itu tidak salah.

Alasannya, toh sudah ada kelompok Orang Rimba yang keluar dari hutan dan hidup dekat dengan desa, sehingga solusi itu tepat buat mereka.

Tetapi, ada dua kelompok Orang Rimba lain.

Dua kelompok

Taman Nasional Bukit Dua Belas ditetapkan pada 2001 oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah rumah buat Orang Rimba dan dikunjungi Presiden Jokowi baru-baru ini
Taman Nasional Bukit Dua Belas ditetapkan pada 2001 oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah rumah buat Orang Rimba dan dikunjungi Presiden Jokowi baru-baru ini

Kelompok pertama, mereka yang bertahan di dalam taman nasional, sekitar 1.700 orang. Dan, kelompok kedua, sekitar 1.000 orang, yang bertahan di tanah leluhur yang kini sudah menjadi HTI atau kebun sawit.

“Nah kelompok kedua ini yang kritis, (mereka) cenderung dianggap pelanggar hukum, orang yang merugikan karena masih bertahan mengambil lahan perusahaan, bahkan mencuri buah sawit. Kelompok yang paling marjinal dan harusnya mendapat solusi,” kata Manajer Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf.

Menurut Rudi, ruang hidup Orang Rimba sudah sejak 1990-an diambil alih dalam bentuk pemberian izin pada perusahaan menjadi HTI maupun kebun sawit.

Perubahan kondisi hutan ini, menurut temuan Warsi, menyumbang pada gizi buruk yang menyebabkan tewasnya 12 Orang Rimba secara beruntun pada Maret 2015 lalu..

Kesulitan pangan

Hutan yang sudah berubah menjadi lahan monokultur menyebabkan Orang Rimba kesulitan mendapat pangan.

Dalam proses mediasi yang juga dihadiri Warsi, menurut Rudi, Orang Rimba sudah ditawari rumah oleh Kementerian Sosial.

Namun mereka menyatakan,”Kami tidak mau rumah, kami mau lahan yang turun-temurun diberikan kembali.”

Lahan yang diminta masyarakat, menurut Rudi, sekitar 114 hektar dalam konsesi seluas 29 ribu hektar. “Kecil sekali, tidak sampai 2 persen, tapi tetap tidak ditemukan solusi,” ujar Rudi.

Contoh yang disampaikan Rudi baru dari satu HTI, sementara, dalam catatan Warsi, ada enam HTI dan empat kebun kelapa sawit yang bersinggungan dengan wilayah hidup Orang Rimba.

“Untuk kelompok yang masih hidup dalam hutan, sederhana saja solusinya, yaitu mempertahankan wilayah hutan yang tersisa untuk diakui menjadi wilayah mereka. Agar pemerintah tidak menerbitkan izin-izin baru di wilayah itu. Buat mereka yang penting ruang hidup, hutannya, diakui,” kata Rudi.

Sayangnya pengakuan ini sulit didapatkan.

Tak terdaftar

Meski Presiden Joko Widodo memberi Kartu Indonesia Sehat pada Orang Rimba, namun, menurut Rudi, prosedur di lapangan untuk mendapatkan kartu tersebut harus menggunakan KTP. Dan, karena Orang Rimba tak punya KTP, maka mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan gratis atau pendidikan.

Dengan alasan inilah Kementerian Sosial tengah berdialog untuk mengajak semua Orang Rimba di dalam hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas ke luar hutan agar bermukim dekat masyarakat.

“Kan tidak mungkin membangun rumah sakit di dalam hutan. Kalau mereka melangun (berpindah) bisa sampai 60 km, itu bisa tembus batas bukan hanya kabupaten, tapi juga provinsi, itu administrasinya bagaimana ?” kata Menteri Sosial, Khofidah Indar Parawansa.

Dalam dialognya dengan Orang Rimba, Khofifah mengatakan dia sudah menanyakan, apakah para orangtua mau untuk menyekolahkan anaknya. Orang Rimba yang ditemui Khofifah menyatakan mau, tetapi mereka meminta agar guru dibawa ke dalam hutan.

Tetapi, kata Khofifah lagi, dia justru ingin agar anak-anak bersekolah di sekolah biasa. “Harapannya, kalau anak-anak sudah senang bersekolah, tentu orangtuanya akan melindungi dan lebih mau menetap,” katanya.

Topangan hutan

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan, mengatakan bahwa bagi Orang Rimba, rumah yang fisik tidak bisa dipisahkan dari rumah yang lebih besar yaitu hutan. Hutan harus bisa menopang mereka dengan kesehatan dan pangan.

“Persoalannya bukan di rumah, tapi dengan cara hidup mereka yang sekarang, wilayah-wilayah adat yang menopang kehidupan mereka itu, sekarang rusak, berubah jadi HTI dan kebun sawit yang tidak bisa lagi memenuhi air bersih dan juga pangan,” kata Abdon.

Dia justru meminta agar taman nasional yang ada sekarang diperluas dengan sistem penyangga. “Nanti kalau wilayah kehidupan sudah beres, baru bicara soal kelayakan yang lain,” ujarnya.

Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, juga mengatakan bahwa masyarakat adat punya hak atas hutan sebagai wilayah hidupnya.

Dan, menurut Sandra, karena wilayah hutan tanpa sepengetahuan mereka sudah jadi HTI dan kebun sawit, maka pemerintah wajib mengembalikan hak-hak masyarakat tersebut dengan memulihkan kondisi hutan.

Setelah kasus meninggalnya Orang Rimba pada Maret lalu, Komnas HAM juga melakukan pemantauan dan berdialog dengan masyarakat serta kelompok pendamping seperti Warsi dan Sokola Rimba.

“Pada prinsipnya, teman-teman melihat bahwa Orang Rimba mau hidup di wilayah hidupnya dan sebenarnya membutuhkan wilayah hutannya kembali, ada umbi-umbian, airnya bersih. Yang penting air cukup, lingkungan sehat,” kata Sandra.

Sikap Komnas HAM

Dalam pandangan Komnas HAM, sebagai warga negara, Orang Rimba berhak mendapat pengakuan atas hak hidup dan kesempatan untuk menentukan nasib masa depannya. Tetapi, program pemberian rumah dan lahan yang direncanakan belum memberi pengakuan tersebut.

Komnas HAM sudah berdialog dengan Kementerian Sosial dan menurut Sandra, mereka menyampaikan bahwa solusi perumahan bukan solusi permanen dan tidak bisa dipukul rata.

“Implikasinya bisa dianggap ini upaya negara mencerabut warga dari wilayah hidupnya,” ujarnya.

Pemerintah, menurut Sandra, sebenarnya mampu untuk mengembalikan hak-hak hutan pada masyarakat adat yang berhak. Dia mencontohkan, ada pola-pola negara yang menganggarkan untuk membeli lagi izin pengelolaan hutan yang sudah diberikan pada perusahaan.

Menanggapi ini, Khofifah mengatakan, pemerintah sekarang sedang melakukan, “penanaman ulang hutan, merestorasi lahan gambut, dan menerapkan strict punishment” bagi perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Tetapi, dia juga melihat hak-hak anak Orang Rimba untuk mendapat pendidikan harus dipenuhi.

Sesuatu yang, dalam pandangannya, baru bisa dilakukan jika Orang Rimba bermukim di luar hutan. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com