INDUSTRI mebel menjadi salah satu yang terkena dampak dari kondisi ekonomi Indonesia yang melemah. Penjual dan pemilik usaha mebel serta kerajinan ukiran mengungkapkan kerugian yang mereka alami sepanjang 2015.
Pameran mebel pada akhir pekan di Jakarta biasanya adalah masa-masa bagi para penjual dan pengusaha mebel dari berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mendapatkan penjualan.
Namun, yang terjadi pada Minggu (11/10) justru sebaliknya. Pameran yang seharusnya menjadi cara andalan untuk bertemu konsumen baru dan meraih keuntungan, malah justru sepi.
Menurut Ansah, seorang tenaga penjualan, pengunjung yang datang ke pameran biasanya sudah siap belanja karena melihat banyak pilihan, dari harga tertinggi sampai terendah.
“Kenapa kita main di pameran, lebih baik untuk daya belinya di pameran. Di showroom pilihannya sedikit. Tujuan pameran buat memperkenalkan nama kita, nggak beli sekarang, mereka kan sudah punya kartu nama, siapa tahu nanti mereka akan berhubungan dengan kita,” kata Ansah.
Sudah 15 tahun terakhir Ansah bekerja sebagai tenaga penjualan menjadi tenaga penjualan di perusahaan furnitur Pro-Link sehingga dia mengetahui naik-turunnya minat beli konsumen.
Pabrik perusahaan dan para perajinnya ada di Jepara, meski Ansah berkantor di Jakarta. Produknya setengah dikirimkan untuk ekspor, tapi sebagian untuk pasar dalam negeri.
Turun drastis
Biasanya pembeli akan mencari meja makan dari kayu trembesi yang besar atau mengisi rumah baru dengan perlengkapan bedset, yaitu tempat tidur, lemari baju dan meja rias yang keseluruhannya bisa mencapai Rp 50 juta.
Dalam sembilan hari pameran, satu penjual seperti Ansah bisa meraih Rp 500 juta. Namun, baru dua hari, Ansah mengatakan,”Waduh, turun drastis. Minggu, harusnya bagus. Hari Sabtu kayak hari Senin, jauh, jauh bener deh (penjualannya).”
Sepanjang 2015, menurutnya, penurunan jumlah pesanan dan pembelian di perusahaannya bisa sampai 50%.
Salah satu produk yang paling banyak dipesan dan terjual adalah gazebo dari kayu jati. Dengan harga Rp 15 juta, perusahaan tempatnya bekerja bisa menjual sekitar 30 gazebo dalam sebulan. Tahun ini, rata-rata hanya 15 yang laku per bulannya.
Ansah juga mengatakan, biasanya tuntutan harga setiap tahun akan semakin tinggi mengikuti biaya produksi. Sekarang, dengan harga produksi yang makin tinggi sementara dengan daya beli yang tetap, pelanggan ingin harganya tidak naik.
Naiknya dolar turut mendongkrak harga produk, karena pelitur yang digunakan untuk finishing mebel harus dengan produk impor agar jatinya tak pecah ketika terpapar sinar matahari.
“Bukannya mengikuti harga produksi gitu. Pasarannya ini ya gimana, nggak dijual, gimana, dijual dapatnya setengah. Ya jualan sih, tapi hasilnya tidak sama seperti dulu,” ujarnya lagi.
Daya beli konsumen mebel yang melemah juga diakui oleh Jalu Seno Aji, pemilik dua perusahaan furnitur dan mebel, Seno Art Gallery dan Sekar Setaman yang ada di Boyolali, Jawa Tengah.
Kekhasannya adalah gebyok Jawa atau gapura dari kayu yang penuh ukiran. Biasanya per meter, gebyok akan dijual dengan harga Rp 10 juta. Dengan harga ini, Seno bisa mendapat keuntungan Rp 2 juta. Sekarang, dia merasa, jika mendapat keuntungan Rp 500 ribu per meter maka sudah cukup. “Tahun-tahun ini kita bertahan saja sudah bagus,” katanya.
Minimalis
Seperti halnya Ansah, Seno juga melaporkan penurunan penjualan lebih dari 50%. Jika biasanya dalam setahun, dia bisa menjual produk sampai Rp 3-5 miliar, tahun ini, sampai Oktober, Rp 1 miliar pun belum dia dapatkan.
Selain perusahaan ukiran khas Jawa, Seno punya usaha furnitur lain dengan gaya desain minimalis. Jika dibandingkan dengan usaha kayu jatinya, perusahaan desain minimalisnya malah mencatat penurunan penjualan yang lebih besar.
“(Untuk gaya) minimalis, setahun Rp 2 miliar ada lah, per tahun ini masih masuk 400 jutaan. Banyak banget (turunnya),” katanya.
Penurunan pemasukan ini pun berdampak pada pengurangan pegawai. Dari ratusan, sekarang perusahaannya hanya mempekerjakan 60-70 karyawan. Pemutusan hubungan kerja terjadi hanya dalam tiga bulan terakhir.
“Kalau kita nggak pameran, kita jagain di showroom, nggak mungkin ada (pengunjung). Tahun-tahun dulu, tanpa kita pameran pun banyak tamu-tamu yang datang ke showroom. Tapi berhubung ini sepi, di setiap kota, Solo, Yogya, Semarang, Jakarta, ada pameran,” katanya.
Konsumen produk gebyok yang dijual Seno sebagian besar ada di dalam negeri. Kebanyakan, katanya, untuk rumah-rumah pejabat di Jakarta, Solo, Semarang.
Faktor ekonomi memang berperan besar dalam penurunan jumlah pembelian, namun Seno menduga ada faktor lain, yaitu banyak pejabat yang sering diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehingga mereka takut membeli barang-barang mahal.
“Pembelinya yang kurang aja, orang datang ke mal, belanja aja kurang. Omzet masih miliaran untuk 9 hari, di atas Rp 1 miliar dapat. Ini hari kedua, baru masuk Rp 40 juta. Sabtu-Minggu harusnya sudah ratusan juta,” Seno memberi perbandingan.
Namun tak semua pesimistis dengan industri mebel dan konsumennya. Suwardi, seorang pengusaha furnitur kayu yang sudah 15 tahun menjalani usaha ini mengatakan, ramai atau tidaknya pameran bukan suatu ukuran kesuksesan.
“Kalau pengunjungnya banyak tapi tidak ada yang beli sama saja,” katanya.
Penurunan pemasukan yang disebut Ansah dan Seno tak dirasakan oleh Suwardi. “Pintar-pintarnya kita mengelola. Di tempat saya, masih rata-rata omzetnya, ya paling Rp 50-100 juta per bulan. Ya masih bagus,” ujarnya. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com