Majalahfakta.id – Sebagai pengamat kebijakan publik, memberi pertimbangan pada eksekutif dan legislatif di daerah dan pusat. Saya kini melihat konsekuensi serius dari pandemisasi Covid oleh WHO. Pandemisasi ini diduga telah direspons secara keliru Pemerintah. Dan mengarah pada dugaan maladministrasi publik dalam penanganan Covid-19.
Banyak pihak telah mengambil keuntungan di atas ketakutan publik, kehancuran ekonomi, dan defisit kompetensi selama sekolah, dan kampus kosong. Defisit spiritual mengancam saat rumah ibadah ditutup.
Baca Juga : Masyarakat Pedalaman Papua Manfaatkan Transportasi Udara Penuhi Distribusi Logistik
Pertama, potensi dugaan maladministrasi dimulai saat pemerintah bersikap menerima begitu saja pandemisasi WHO atas penyebaran Covid-19 ini. Menkes Siti Fadhilah Supari pernah menolak pandemisasi Flu Burung.
Republik ini seharusnya berdaulat sehingga memiliki politik kesehatan berpihak pada kepentingan masyarakat. Bukan memihak kepentingan korporasi asing yang berbisnis alat-alat tes, obat dan vaksin. BPOM ikut bertanggung jawab.
Kedua, sebagai penyintas Covid-19 yang telah kehilangan sahabat, dan orang-orang terdekat akibat covid-19 ini, virus ini memang faktual ada. Namun, respons kita menghadapinya adalah sebuah pilihan kebijakan administrasi publik.
Baca Juga : Anggota Komisi XI DPR Minta Pemerintah Tetap Beri Insentif UMKM Selama Pandemi
Di sini banyak nakes, termasuk dokter, kurang memahaminya. Arahan WHO tidak harus diikuti dengan taklid (taklid atau mengikuti tanpa tahu dalilnya) buta. Respons ini seharusnya dipijakkan pada seluruh potensi nasional kita, membangun kemandirian kesehatan, dan mengamankan bonus demografi kita. Respons pemerintah malah menjadikan publik diduga sebagai konsumen vaksin asing dan obyek bioteror menyesatkan serta mengancam bonus demografi.
Ketiga, data olahan kami per Mei 2020 menunjukkan bahwa risiko kematian akibat Covid-19 di Indonesia sebesar dua persejuta (waktu itu angka kematian resmi masih sekitar 500, China sudah mencapai 3.300, AS 22.000 dan Italia 21.000). Ini jauh lebih kecil dari Italia (300 persejuta), AS (70 persejuta), dan China (2.3 persejuta).
Ada faktor iklim, gaya hidup, geografi dan demografi menguntungkan bangsa ini. Sayang sekali, informasi ini tidak ditonjolkan. Yang disemburkan melalui media massa arus utama, internet dan medsos adalah dramatisasi pandemi ini sehingga pandemi menjadi weapon of mass deception (senjata penipuan massal).
Baca Juga : Begini Upaya Optimalisasi Penerapan Prokes dan Cegah Covid-19 di Papua
Keempat, penyesatan melalui pandemisasi ini juga bisa dilihat dari fakta-fakta berikut. Angka kematian akibat Covid-19 sekitar 62.000 (per 8/7/2021) lebih rendah akibat penyakit menular TBC. Penyakit degeneratif (tidak menular) seperti diabetes, stroke, jantung, serta laka lantas yang juga tidak kalah serius.
Penyakit Tidak Menular yang disebut komorbid itulah pemicu fatalitas Covid-19. Sementara itu motor adalah mesin pembunuh paling berbahaya di jalan-jalan kita. Di Indonesia 30 orang setiap hari tewas, 20 di antaranya pesepeda motor berusia produktif. Kemiskinan langsung mengikuti kematian tulang punggung keluarga yang hidup pas-pasan.
Akibat kekeliruan perspektif ini, manajemen TBC, dan Penyakit Tidak Menular telah terbengkalai karena perhatian, sumberdaya, dan dana dialokasikan bagi penanganan Covid-19. Karena peralatan tes juga dialokasikan ke Covid-19, angka keterjangkitannya seolah meningkat, sementara angka keterjangkitan TBC misalnya, justru turun.
Baca Juga : Berkas Lengkap, Bupati Nganjuk NRH dan Enam Tersangka Lain Segera Disidang
Oknum penguasa dan swasta mungkin telah memanfaatkan pandemi ini untuk kepentingan koruptif. Ada UU agar pemanfaatan anggaran Covid-19 dibebaskan dari pertanggungjawaban. Korupsi Bansos sudah terjadi. Politik kesehatan kita tidak mandiri, kuratif, tidak preventif apalagi promotif. Masyarakat tidak memiliki gaya hidup sehat, gagal memproduksi kesehatan sebagai public goods, dan rapuh menghadapi intimidasi industri obat dan vaksin.
Pada saat banyak fasilitas kesehatan kita kolaps menghadapi lonjakan pasien Covid-19, PPKM Darurat mungkin akan diperpanjang hingga Agustus. Tentu kita bertanya-tanya mengapa setelah virus, dan vaksin datang dari China, konon dokternya pun akan segera didatangkan dari sana. (Daniel Mohammad Rosyid, Jatingaleh, 09/7/2021)