Daerah  

Hutan Sumatera barat Tergerus Sistematis: Deforestasi, Izin tambang, dan Peringatan yang Diabaikan

FAKTA — Hutan Sumatera Barat terus menyusut dalam satu dekade terakhir, meninggalkan jejak kerusakan ekologis yang kian nyata. banjir, longsor, rusaknya daerah aliran sungai, hingga konflik ruang hidup masyarakat. Data resmi dan temuan lembaga konservasi menunjukkan bahwa deforestasi di Ranah Minang bukan sekadar peristiwa alamiah, melainkan hasil dari kebijakan, pembiaran, dan praktik eksploitasi yang berlangsung sistematis.

Dalam periode 2011–2021, Sumatera Barat kehilangan 139.590 hektar hutan—luas yang setara lebih dari satu setengah kali Kota New York. Angka ini dikonfirmasi Dinas Kehutanan Sumbar dan diperkuat analisis citra satelit oleh organisasi masyarakat sipil. Kerusakan terjadi akibat kombinasi bisnis ekstraktif skala besar, pembalakan liar, serta pertambangan emas ilegalyang terus berulang dari tahun ke tahun.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat mencatat laju kehilangan tutupan hutan memang cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Rentang 2017–2021, kerusakan hutan berada di bawah 15.000 hektar per tahun. Pada 2017, kerusakan tercatat 14.652 hektar, turun menjadi 11.979 hektar pada 2018. Namun, angka kembali naik pada 2019 menjadi 13.132 hektar, sebelum menurun lagi pada 2020 (12.790 hektar) dan 2021 (12.037 hektar).

Meski tren ini kerap diklaim sebagai capaian, data lain menunjukkan gambaran yang lebih kompleks. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat, sepanjang 2021 saja, 6.968 hektar hutan Sumbar rusak, dengan konsentrasi terbesar di Solok Selatan (2.559 hektar), Dharmasraya (1.773 hektar), Solok (1.533 hektar), dan Sijunjung (1.103 hektar).

KKI Warsi mengungkap bahwa dalam periode 2017–2020, Sumbar kehilangan 31.367 hektar tutupan hutan, berdasarkan analisis citra satelit Landsat TM 8. Daerah paling terdampak adalah Kepulauan Mentawai (7.458 hektar), Dharmasraya (5.131 hektar), danSolok Selatan (4.975 hektar).

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat, Wengky, menegaskan bahwa peringatan soal krisis ekologis telah disampaikan bertahun-tahun, namun kerap diabaikan.

“Setiap tahun Walhi selalu mengingatkan Pemprov Sumbar soal deforestasi. Bahkan sebelum longsor di kawasan Lembah Anai, peringatan sudah kami sampaikan. Tapi pengrusakan lingkungan terus berulang,” kata Wengky, Kamis (18/12/2025).

Menurut Wengky, setelah Pilkada 2024, Walhi kembali menyampaikan catatan kritis kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih. Tema yang diangkat tegas: “Krisis Politik ke Krisis Ekologis.”

Walhi bahkan telah membawa persoalan ini ke tingkat nasional dengan melaporkan dugaan pelanggaran dan keterlibatan oknum di balik kejahatan lingkungan ke Komnas HAM.

Sorotan paling tajam tertuju pada kebijakan alih fungsi kawasan hutan. Walhi mencatat, dari periode ke periode, pemerintah daerah merekomendasikan ratusan ribu hektar hutan untuk dieksploitasi.

Menjelang akhir tahun, saat berbagai bencana ekologis belum tertangani, Gubernur Sumbar disebut mengusulkan 17.700 hektar hutan, terbagi dalam 496 blok, sebagai wilayah pertambangan di 10 kabupaten/kota.

Hingga 2020, Walhi mencatat setidaknya:

·         183.705 hektar hutan alam dibebani izin hasil hutan kayu,

·         65.432,90 hektar untuk hutan tanaman industri,

·         1.456,54 hektar untuk aktivitas pertambangan.

Kerusakan akibat tambang emas ilegal di empat kabupaten saja telah mencapai 7.662 hektar, masing-masing di Solok Selatan, Solok, Sijunjung, dan Dharmasraya. Angka ini belum mencakup wilayah lain seperti Agam, Padang Pariaman, Pasaman, dan Pasaman Barat.

Pada Februari 2021, Gubernur Sumbar juga merekomendasikan kawasan hutan seluas ±43.591 hektar di Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam. Di dalam kawasan tersebut, terdapat enam izin perhutanan sosial yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.

Kasus serupa terjadi di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, ketika pemerintah provinsi merekomendasikan ±25.325 hektar hutan untuk PT Sumber Permata Sipora. Selain itu, dalam periode 1990–2014, sekitar 158.831 hektar hutan Sumbar dialihfungsikan menjadi perkebunan besar, terutama kelapa sawit.

Walhi menegaskan, jika data dan temuan tersebut terbukti, pemerintah daerah—termasuk gubernur dan wakil gubernur—harus meninjau ulang, membatalkan, dan mencabut izin alih fungsi hutan yang merugikan rakyat dan lingkungan.

“Momen bencana ini seharusnya menjadi ajang refleksi dan pertobatan. Hentikan kejahatan lingkungan, hentikan pembabatan hutan, dan cabut izin-izin yang telah menghancurkan ruang hidup masyarakat,” ujar Wengky.

Di tengah krisis iklim global dan meningkatnya frekuensi bencana hidrometeorologi, hutan Sumatera Barat bukan sekadar angka statistik. Ia adalah benteng terakhir ekologi, penyangga kehidupan, dan cermin pilihan kebijakan hari ini—yang dampaknya akan ditanggung generasi mendatang. (SS)