Semua  

Hakim Vonis Ricky 18 Bulan Persis Tuntutan Jaksa, Pengacara Korban Apresiasi Dan Sebut Nanti Ada Kejutan-Kejutan Lain

Ricky saat proses sidang sebelumnya.
Ricky saat proses sidang sebelumnya.

MAJELIS hakim PN Sleman pada perkara pidana nomor 34/Pid.B/2017/PN Smn terkait kasus penipuan miliaran rupiah, Rabu (5/4) menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Ricky Yonathan (52) selama delapan belas bulan penjara. Vonis tersebut sama dengan tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) Jumadi SH dan Wiwik Triatmini SH MHum dari Kejati DIY beberapa waktu lalu.

Majelis hakim juga menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar pasal 372 dan 263 ayat (2) KUHP sebagaimana yang didakwakan JPU. Dalam putusan tersebut antara lain dinyatakan sekira tahun 2012 saksi korban, DR Andreanyta Meliala PhD, berniat membangun hotel di atas tanah miliknya seluas 1434 m2 yag terletak di Kelurahan Darat, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Beberapa waktu belum dapat rekanan untuk membangun hotel tersebut, saksi korban setuju saat dikenalkan pada Ricky Yonathan, Direktur CV Graha Kreasindo Yogyakarta oleh saksi Samuel dan Heru.

Ringkasnya, pada masa persiapan pembangunan tersebut Ricky Y bisa meyakinkan korban dan pada 10 Februari 2014 dilakukan penandatanganan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Gedung Hotel Neo+ Medan bernomor 001/NHS-ADM/SP4/II/2014 dan Surat Perintah Kerja nomor 002/NHS-ADM/SPK/II/2014.  Dalam perjanjian itu nilai kontrak pembangunan hotel senilai Rp 61.374.600.000,- dan USD 353.004. Jangka waktu pembangunan Hotel Neo+ akan dikerjakan selama 18 bulan sejak penandatanganan SPK atau selambat-lambatnya 22 Juli 2015 dengan sistem kerja sama Cost dan Fee. Juga disepakati besarnya fee (upah) jasa terdakwa sebesar 7,5 % dari nilai kontrak atau sekitar Rp 4,6 miliar dan USD 26.400.

Namun, di tengah perjalanan ternyata berjalan tidak sesuai komitmen keduanya. Ricky yang sempat melakukan tagihan pada korbannya sebesar Rp 15 M. Setelah dilakukan verifikasi terhadap tagihan tersebut ditemukanlah beberapa kejanggalan. Antara lain adanya tagihan dari sub kontraktor dalam jumlah besar namun tidak ada bukti transfernya. Terdakwa juga memanipulasi beberapa tagihan tersebut yang ternyata ada yang fiktif, seperti bukti pembelian lift (pihak ketiga) yang dibuat terdakwa sendiri. Pengakuan terdakwa bahwa hal tersebut sudah seijin pihak ketiga, namun ternyata pihak ketiga di muka sidang justru menyatakan belum pernah memberikan ijin terkait hal ini. Dari fakta persidangan terungkap pula saat terdakwa melakukan pembelian lift, selain menaikkan harga ternyata lift yang dipesan tidak sesuai RAB semula. Karenanya korban memilih tidak mau menerima keberadaan lift tersebut yang oleh terdakwa kemudian lift itu dikembalikan lagi pada pihak ketiga.

Disebutkan juga dalam pertimbangan hakim pada vonis tersebut soal pihak korban yang sempat mentransfer sebesar Rp 34 M atas tagihan terdakwa.  Juga adanya selisih perhitungan yang menurut perhitungan JPU sebesar Rp 8,9 M serta adanya ganti material mekanikal pada proses pembangunan dengan dalih untuk penghematan yang ternyata tidak seijin dari pemberi kerja (korban), padahal sesuai dalam perjanjian setiap perubahan harus dapat persetujuan tertulis dari Andreanyta Meliala.

Hasil cek lab forensik yang dilakukan Ir Hotma Prawoto dari vokasi UGM terhadap hotel yang dikerjakan oleh terdakwa berdasarkan tes kekuatan beton di tiap lantai dinyatakan tidak ada masalah. Sedang menurut keterangan saksi ahli Mudzakir SH MH bahwa perkara tersebut ke arah keperdataan karena dimulai dengan adanya perjanjian. Tetapi Mudzakir juga berpendapat dengan adanya perjanjian juga bisa jadi perkara pidana jika memang sudah ada niat buruk dari salah satu pihak.

Terhadap beberapa pendapat yang dikatakan di muka persidangan, majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sutarjo SH MH dengan Hakim Anggota Rahmad Dwinanto SH dan Putu Agus Wiranata SH MH tersebut menyatakan tidak setuju soal penilaian JPU terkait angka kerugian tadi maupun beberapa bukti yang diajukan oleh terdakwa. Hakim berpendapat bahwa untuk melakukan perhitungan kerugian harus melalui Akuntan Publik. Tetapi apa yang dilakukan oleh terdakwa telah memenuhi unsur adanya pelanggaran hukum sesuai pasal yang diajukan jaksa.

Majelis menilai unsur yang memberatkan, terdakwa telah merugikan korbannya dalam jumlah besar dan tidak adanya permintaan maaf selama proses persidangan. Sedangkan unsur yang meringankan, terdakwa berlaku sopan selama persidangan, belum pernah dihukum dan telah melaksanakan sebagian pekerjaaanya dengan baik.

Pengunjung sidang sontak berdiri saat Ricky dibawa keluar ruang persidangan.
Pengunjung sidang sontak berdiri saat Ricky dibawa keluar ruang persidangan.

Mendengar putusan  tersebut, terdakwa yang duduk berkemeja putih di muka persidangan tampak pasrah. Begitu pula keluarga dan kenalan terdakwa yang hampir memadati ruangan sidang. Mereka seakan tidak percaya bahwasannya putusan yang dijatuhkan ternyata sama dengan tuntutan jaksa. Terlihat Totok Suprato SH, pengacara Ricky Yonathan, yang sebelumnya turut menghadiri persidangan. Namun, Totok memilih diam saat ditanya wartawan. “Nggak komentar apa-apa, Mas,” jawabnya ringkas sambil meninggalkan PN Sleman.

Sedangkan JPU Jumadi SH maupun pengacara korban, Samuel SH, menyatakan pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim tersebut. “Masih pikir-pikir. Soal langkah hukum selanjutnya, kami harus berembuk dulu dengan keluarga. Tetapi putusan terhadap klien kami itu di luar dugaan. Banyak fakta hukum yang tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim,” ungkap penasehat hukum terdakwa, Samuel Rambing SH, kepada wartawan seusai  persidangan.

Samuel berdalih, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi, serta sesuai dengan yang dikemukakan dalam nota pembelaan (pledoi), kasus ini  sebenarnya bukan pidana melainkan kasus perdata. Karena, lanjut Samuel, kesepakatan kerja sama antara kliennya dengan pelapor, berdasarkan  surat perjanjian. “Selama surat perjanjian belum dibatalkan, maka kasus ini adalah kasus perdata, bukan pidana. Selain itu sejak awal kami sudah menyinggung soal audit investigasi. Sampai dengan vonis hari ini, tidak ada audit investigasi,” ungkapnya.

Terpisah, pengacara korban, Layung Purnomo SH MH CIL, didampingi Sudjadi Wisnu Murti SH dari Kantor Hukum Layung & Rekan mengapresiasi apa yang jadi putusan majelis hakim tersebut. “Kita apresiasi dan tetap dihargai apa pun putusan itu.” kata Layung.

“Seperti yang kita ketahui bersama terdakwa selama ini tidak pernah melakukan permintaan maaf. Upaya ganti rugi terhadap korban juga tidak pernah ada, sedang proses pembangunan hotel berbintang yang jadi idaman klien kami juga mangkrak sejak Maret 2015. Setelah putusan ini akan kita ambil langkah hukum lainnya, tunggu kejutan-kejutan kita nanti,” tegas Layung menutup perbincangan kepada Fajar Rianto dari FAKTA. (F.883)