FAKTA – PT Gudang Garam Tbk, salah satu pemain utama dalam industri rokok tanah air, kini tengah menghadapi tekanan terberat sepanjang sejarah perjalanannya.
Tahun 2024 menjadi tahun yang mengubah arah perusahaan secara drastis—laba bersih perusahaan terjun bebas dan hanya menyentuh angka sekitar Rp900 miliar.
Padahal, di tahun sebelumnya, laba perusahaan masih melambung di atas Rp5 triliun.
Penurunan tajam lebih dari 80 persen ini menjadi sorotan dan menyulut pertanyaan besar, apakah era kejayaan Gudang Garam mulai pudar?
Dalam sebuah tayangan YouTube bertajuk “Gudang Garam TERPURUK! Raksasa Rokok RI di ujung tanduk?”, pengamat ekonomi Bennix memaparkan bahwa kemerosotan ini bukan tanpa alasan.
Volume penjualan batang rokok Gudang Garam tercatat menurun drastis. Jika pada 2023 jumlah penjualan masih berada di angka lebih dari 61 miliar batang, maka di 2024 hanya sekitar 53 miliar batang yang berhasil dijual—penurunan sekitar 8 miliar batang yang setara potensi pendapatan Rp8 triliun apabila harga per batang diasumsikan Rp1.000.
Salah satu penyebab utama yang turut menyeret performa perusahaan adalah kebijakan fiskal, tarif cukai rokok yang terus melonjak.
Dalam lima tahun terakhir, cukai naik hingga 67 persen atau sekitar 12 persen setiap tahun.
Kini, dari setiap bungkus rokok seharga Rp40.000, hampir separuhnya terserap untuk membayar cukai.
Imbasnya, harga rokok melambung dan memukul daya beli masyarakat secara langsung.
Penurunan penjualan berujung pada penumpukan stok di gudang perusahaan. Hal ini membuat Gudang Garam mengerem pembelian bahan baku dari petani.
Di wilayah penghasil tembakau seperti Temanggung, Jawa Tengah—yang setiap tahun memasok lebih dari 8.000 ton tembakau untuk perusahaan—banyak petani kini harus menghadapi kenyataan pahit, tembakau mereka tidak lagi dibeli.
Harga yang dulunya bisa menyentuh Rp100.000 per kilogram, kini anjlok tajam ke angka Rp20.000.
Ironisnya, strategi Gudang Garam untuk mengurangi pembelian tembakau justru memperuncing persoalan.
Ketika stok berlebih membanjiri pasar, harga jatuh semakin dalam. Sementara itu, celah ini dimanfaatkan oleh produsen kecil hingga pemain rokok ilegal yang bisa membeli tembakau murah dan menjual rokok dengan harga jauh lebih rendah.
Gudang Garam pun terjebak dalam siklus buruk yang membuat daya saingnya makin lemah.
Yang lebih menyakitkan, sebagian besar stok tembakau yang dimiliki Gudang Garam dibeli saat harga masih tinggi.
Ketika harus bersaing dengan rokok murah hasil produksi produsen kecil, posisi perusahaan menjadi tidak kompetitif.
Beban biaya tinggi dan penjualan yang lesu menyeret raksasa ini ke sudut krisis.
Situasi yang dialami Gudang Garam adalah cermin rapuhnya fondasi industri rokok nasional di tengah tekanan regulasi dan pasar gelap yang semakin agresif.
Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa respons strategis yang cepat, perusahaan yang pernah menjadi simbol kekuatan bisnis rokok Indonesia itu bisa benar-benar kehilangan pijakannya—dan terseret ke jurang kehancuran yang nyata. (Laporan : F1 || majalahfakta.id)






