
DALAM rekomendasi DPRD Kabupaten Badung No. 556/1951/DPRD Badung tertanggal 28 Desember 2012, hanya memberikan ijin untuk melakukan penataan dan normalisasi daerah pasang surut kawasan Teluk Benoa. Tidak seperti TOR (Term of Reference) yang ditandatangani I Ketut Sudikerta yang saat itu menjabat Plh Bupati Badung yang jelas-jelas menyebut reklamasi. Normalisasi yang dimaksud untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi di kawasan Teluk Benoa, seperti abrasi, pendangkalan akibat sendimentasi dan kerusakan tanaman mangrove.
Sabtu (23/6) Giri Prasta angkat bicara terkait tudingan sepihak kepadanya. Sebelum menginjak substansi masalah, dia ingin mengajak melihat tanggal keluarnya TOR yang diteken Sudikerta dengan Rekomendasi DPRD Badung. TOR Reklamasi Pantai Tanjung Benoa dan Pulau Pudut berdasarkan Surat No. 523/3193/Disnakanlut tertanggal 26 September 2012, sedangkan Rekomendasi DPRD Badung tertanggal 28 Desember 2012. “Jadi, intinya begini, TOR yang ditandatangani Sudikerta menginginkan rekomendasi DPRD, tapi kami DPRD Badung menolak dan mengeluarkan rekomendasi normalisasi,” terangnya.
Yang kedua, soal substansinya, Giri Prasta menjelaskan bahwa normalisasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya tindakan menjadikan normal (biasa) kembali. Dia mencontohkan normalisasi Kalijodo di Jakarta, yang awalnya mengalami pendangkalan dan kondisinya kurang tertata, kini menjadi baik. Berkaitan dengan Teluk Benoa, kondisi riil di lapangan telah mengalami abrasi, pendangkalan akibat sedimentasi yang dibawa oleh aliran sungai yang bermuara di Teluk Benoa, selanjutnya kerusakan tanaman mangrove. “Hal-hal itu yang ingin kita perbaiki, bukan reklamasi atau pengurukan seperti TOR yang diteken Sudikerta tersebut,” ujarnya.
Dalam poin-poin rekomendasi itu, lanjutnya, juga banyak hal yang ditekankan, misalkan kegiatan dan pemanfaatan kawasan tersebut agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai adat, budaya dan agama. (Rie)






