FAKTA – Di balik pelaksanaan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pengembangan Kompetensi PTK dan Alumni Guru Penggerak 2025 yang digelar Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, tersimpan sebuah cerita memilukan yang diungkapkan sejumlah peserta. Kegiatan yang berlangsung pada 27–29 Oktober 2025 di Hotel Swarna Dwipa Palembang dan diikuti oleh 130 guru utusan dari SMAN, SMKN, dan SLB se-Sumatera Selatan, ternyata menyisakan polemik serius terkait ketimpangan uang saku yang diterima peserta.
Kegiatan ini sebelumnya tertuang dalam Surat Nomor 420/6334/PTK.2/Disdik.SS/2025, ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan, Mondya Boni, SE, S.Kom, M.Si. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa akomodasi dan konsumsi ditanggung oleh panitia, sementara biaya transportasi kembali kepada sekolah masing-masing.

Namun faktanya, sejumlah guru—khususnya dari SMAN 18 Palembang—mengaku menerima perlakuan yang dianggap tidak wajar dan jauh dari rasa keadilan.
Salah satu guru utusan SMAN 18 yang meminta identitasnya dirahasiakan menuturkan kepada media ini bahwa mereka merasa sangat kecewa.
“Selama tiga hari kegiatan, kami tidak boleh pulang. Menginap pula. Tapi uang saku yang kami terima hanya Rp100 ribu untuk tiga hari,” ungkapnya.
“Itu pun tidak diberikan cash, tapi ditransfer dua hari setelah kegiatan selesai.”
Uang saku tersebut, menurut penuturan para guru, dicairkan oleh Bendahara Pendidikan Sistem Ganda (PSG) SMAN 18, Aan Afriansyah.
Kekecewaan semakin memuncak ketika mereka mengetahui bahwa guru dari sekolah lain yang mengikuti diklat yang sama justru menerima hingga Rp800 ribu untuk periode tiga hari.
Ketika dikonfirmasi pada Kamis, 11 Desember 2025, Bendahara PSG SMAN 18, Aan Afriansyah, membenarkan bahwa jumlah uang saku yang diberikan kepada guru SMAN 18 adalah Rp100 ribu.
Dalam pesan balasannya, Ia menjelaskan : “Akomodasi, hotel, konsumsi ditanggung penyelenggara. Kami di PSG hanya memfasilitasi transport PP sesuai SBU 2025. Uang saku kegiatan Rp75 ribu (OH), tapi karena ini hanya transport PP, maka yang difasilitasi Rp50 ribu x 2 = Rp100 ribu sesuai SSDP.”
Namun penjelasan ini justru memunculkan pertanyaan baru. Jika aturan Pergub dan SBU 2025 berlaku untuk seluruh peserta, mengapa guru dari sekolah lain bisa mendapatkan hingga Rp800 ribu?
Apakah ada perbedaan interpretasi aturan di tingkat sekolah?
Atau justru terjadi ketidaksamaan standar pengelolaan dana transport antar satuan pendidikan?
Hingga kini, pertanyaan itu masih menggantung tanpa jawaban.
Media ini telah berupaya mengkonfirmasi langsung kepada Kepala SMAN 18 Palembang, namun hingga berita ini diturunkan, yang bersangkutan tidak memberikan respons sama sekali.
Sikap bungkam ini kian memperkuat dugaan bahwa di SMAN 18 Palembang memang terdapat banyak persoalan yang belum terselesaikan, terutama menyangkut transparansi anggaran dan manajemen internal.
Perbedaan mencolok antara uang saku peserta dari SMAN 18 dengan sekolah lain memunculkan pertanyaan mendalam tentang:
Apakah dana transport untuk diklat dikelola dengan benar dan sesuai aturan?
Apakah terjadi penafsiran berbeda terhadap Pergub dan SBU 2025 antar sekolah?
Adakah unsur kelalaian, ketidaktahuan, atau bahkan penyimpangan dalam pengelolaan dana PSG di SMAN 18?
Para guru berharap Dinas Pendidikan Sumatera Selatan melakukan peninjauan menyeluruh terhadap dugaan ketimpangan ini.
Diklat yang seharusnya menjadi wadah peningkatan kompetensi justru meninggalkan rasa pahit bagi sebagian peserta. Para guru, yang merupakan ujung tombak pendidikan, kembali harus menghadapi realitas bahwa transparansi anggaran masih menjadi persoalan serius di banyak institusi pendidikan.
“Kami hanya ingin diperlakukan adil,” ucap salah satu guru dengan nada lirih.
Investigasi ini masih terus dikembangkan, menunggu klarifikasi lebih lanjut dari Dinas Pendidikan Sumsel, serta pihak-pihak terkait lainnya. (ito/F1)






