SEHARI setelah pemilihan kepala daerah secara serentak di 264 wilayah, partisipasi para pemilih yang rendah menjadi tema paling banyak diliput oleh media massa di Indonesia.
Hal itu diungkapkan oleh Rustika Herlambang dari Indonesian Indicator, sebuah lembaga yang menelusuri peliputan media.
“Dari 358 media yang membicarakan tentang pilkada di Indonesia ternyata partisipasi pemilih merupakan yang paling banyak diberitakan.”
Hingga saat ini belum ada angka resmi tentang partisipasi para pemilih dalam Pilkada 2015 – yang berlangsung serentak pertama kali secara nasional – dari Komisi Pemilihan Umum, namun tampaknya tingkat partisipasi memang menurun.
“Jadi kalau dalam temuan-temuan media, dikatakan partisipasi pemilih itu rendah, KPU juga mengatakan partisipasinya menurun, menurut lembaga-lembaga survei juga begitu, menurun dari Pemilu 2014 lalu,” tambah Rustika.
Beberapa daerah yang partisipasinya diperkirakan di bawah 50% antara lain adalah Medan yang melakukan pemilihan Walikota Medan, Surabaya yang melakukan pemilihan walikota, atau Manado untuk pemilihan Gubernur Sulawesi Utara.
Gema yang lebih rendah ?
Di Medan, salah seorang pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, Monang Sitorus, mengaku kehilangan kepercayaan dengan para pemimpin di Medan, dan Indonesia, pada umumnya.
“Saya merasa skeptis dengan calon pemimpin kota Medan untuk lima tahun mendatang. Banyak pemimpin di Indonesia yang telah menyalahgunakan wewenangnya dan terlibat korupsi”.
Seorang pemilih lain, Fahris Tanjung, mengaku tidak akan ada perubahan lewat pemilihan pemimpin.
“Intinya, pemerintah zaman sekarang gitu-gitu saja. Pemimpjn yang sudah bekerja di pemerintahan sama saja sampai sekarang.”
Dua walikota Medan – Rahudman Harahap dan Abdillah – merupakan terpidana kasus korupsi sedangkan satu Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin, terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan seorang lagi, Gatot Pujo Nugroho, menjadi tersangka dalam kasus korupsi di KPK.
Tapi apakah skeptisisme semata-mata yang menjadi alasan penurunan partisipasi para pemilih itu ? Dodi Ambardi, Direktur Lembaga Survei, menduga ada kaitannya dengan perubahan mode kampanye.
“Kampanye sebagian itu dikelola oleh KPU jadi tidak ada lagi persaingan untuk menguasai media, membelanjakan besar-besaran untuk baliho, poster dan lain sebagainya.”
Oleh karena itu, tambah Dodi, gema Pilkada 2015 ini lebih rendah dibanding pilkada sebelumnya.
Lebih dari 30 perempuan menang pilkada versi hitung cepat
Sedikitnya 35 perempuan calon kepala/wakil kepala daerah menang dalam pilkada serentak menurut versi hitung cepat dan ini merupakan “kecenderungan positif” yang muncul dalam Pilkada 2015.
Dalam pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember, ada 123 orang perempuan jadi calon kepala/wakil kepala daerah.
Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (Ansipol),, Yuda Irlang Kusumaningsih, mengatakan perolehan suara bagi calon kepala daerah/wakil kepala daerah perempuan ini cukup bagus karena memang partisipasi perempuan dalam demokrasi jauh tertinggal.
“Sudah cukup bagus, karena perempuan bisa maju dalam pilkada dan terpilih, karena selama ini kami melihat betapa sulitnya perempuan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, karena harus memiliki uang dan parpol juga tidak terlalu berminat mengambil calon kepala daerah perempuan kecuali untuk segmen tertentu,” jelas Yuda.
Calon perempuan dalam pilkada serentak hanya mencapai 7,32 %. Hampir semua calon perempuan kepala daerah ini berlaga di tingkat kota/kabupaten, dan hanya satu di tingkat provinsi sebagai calon gubernur yaitu di Sulawesi Utara.
Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, beberapa perempuan yang terpilih sebagai kepala ataupun wakil kepala daerah antara lain Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan), Ratu Tatu Chasanah (Bupati Serang), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Cellica Nurrachadiana (Bupati Karawang), dan Rita Widyasari (Bupati Kutai Kertanegara).
Yuda mengharapkan terpilihnya perempuan sebagai kepala/wakil kepada daerah ini akan melahirkan kebijakan yang berpihak kepada perempuan.
Tidak ada kuota
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartika, menilai dalam pilkada serentak ini calon perempuan sangat minim.
Ini berbeda dengan pemilu legislatif, karena UU Pemilihan Umum mengharuskan partai politik memberikan kuota 30 % untuk calon perempuan.
Dian menilai pragmatisme parpol dan dana merupakan hambatan utama bagi perempuan untuk muncul dalam ajang pilkada serentak ini.
“Parpol pragmatis dalam pilkada ini membuat mereka hanya memilih calon yang memiliki peluang besar untuk terpilih, tidak melihat perempuan atau laki-laki,” jelas Dian.
“Dan kendala lain tidak semua perempuan memiliki akses dana yang cukup untuk maju sebagai kepala/wakil kepala daerah. Sementara kalau legislatif itu bisa tandem, bisa sharing dengan sesama daerah pemilihan,” tambah Dian.
Hal lain yang tampak dari Pilkada 2015, di antara para calon perempuan -termasuk yang menang – banyak yang dituding bagian dari suatu dinasti politik.
Yang paling jelas adalah Ratu Tatu di Serang dan Airin Rachmy di Tangerang Selatan, dua anggota keluarga Ratut Atut, bekas Gubernur Banten yang sekarang dipenjara karena perkara korupsi. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com