FAKTA – Ditengah kegelisahan petani atas harga cabai yang kerap melambung dan jatuh bangun, sebuah harapan kecil lahir di Desa Kertak Empat, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar. Hari ini, Dinas Pertanian Kabupaten Banjar menggelar kegiatan demonstrasi plot (Demplot) cabai dan Tomat varietas Taruna F1 di balai desa Kertak empat.
Demplot adalah metode penyuluhan yang memperlihatkan langsung membuat lahan percontohan, mulai dari mendemontrasikan teknik pengolahan lahan, teknologi, pembibitan, pemupukan, hingga pemasaran, “Petani diajak agar dapat melakukan harmonisasi teori dengan praktek yang ada lapangan,” ujar Masrani, SP, selaku Koordinator BPP Pengaron, yang turut hadir mendampingi.
Acara Demplot dihadiri tujuh kelompok tani dari Desa Kertak Empat, yakni Kelompok Tani Berkah Makmur, Karya Bersatu, Sidomulyo, Harapan Nusa, Karya Bersama, Budi Karya, dan Mekar Sari, dengan total anggota mencapai 135 orang petani. Mereka duduk sejajar dengan Pambakal Desa Kertak Empat, Babinkamtibmas Haris, Babinsa, perwakilan dari kecamatan hadir PLT Sekcam Pengaron M. Arsyad, MM, serta deretan pejabat fungsional Dinas Pertanian seperti Nudin, SP, Agus Triyanto, S.Pt, Rifani Hernandi, S.Pt, dan Fetty Musriniwati, SP.MP., saling berdiskusi dan berbagi pengalaman. Dari kalangan petani swadaya, hadir bapak H. Anang Pujiono yang menceritakan pengalamannya yang ikut memberi banyak warna dalam forum lapangan ini.
Cabai, Inflasi, dan Tengkulak
Cabai bukan sekadar bumbu dapur, tapi salah satu penentu inflasi daerah. Setiap kali panen gagal atau pasokan tersendat, harga bisa melesat naik, menekan daya beli masyarakat. Sebaliknya, saat panen serentak, harga jatuh bebas, petani yang menanggung derita.
Masalah inilah yang coba dijawab lewat Demplot Cabai Taruna F1. Varietas keluaran cap Panah Merah ini dikenal tahan terhadap layu bakteri, tegak kokoh, serta cocok di berbagai dataran. Jika teknik budidaya dijalankan sesuai kaidah Good Agricultural Practices (GAP), potensi hasilnya disebut bisa bersaing dengan pasokan yang datang dari Pulau Jawa.
Pengalaman Petani didesa Kertak Empat, yang mengelola lahan kering seluas 0,5 hektare hanya mengandalkan tadah hujan, belum ada alat ukur PH tanah, irigasi pun minim. Di sisi hilir, harga cabai tetap dikendalikan oleh sistem pemasaran yang dikuasai tengkulak. Petani masih menjual sendiri-sendiri, sehingga tidak punya posisi tawar.
“Selama ini kami sering bingung menjual hasil panenan, apalagi kalau panen berbarengan dengan kecamatan lain, harga langsung turun,” keluh seorang petani setempat.
Belajar dari Lahan Percontohan
Di sinilah letak pentingnya demplot menjadi laboratorium terbuka di tengah desa. Petani bisa melihat sendiri bagaimana penggunaan pupuk yang tepat, teknik penyemaian bibit, hingga pola tanam yang disarankan. Harapannya sederhana jika produksi meningkat, ketergantungan pasokan dari luar daerah menurun, dan harga bisa lebih stabil.
“Kalau produksi lokal kuat, pedagang yang mengambil produk dari luar tak bisa lagi mendikte harga seenaknya,” ujar seorang penyuluh.
Demplot ini memang baru satu langkah kecil. Tetapi dari lahan kering seluas setengah hektare itu, terletak taruhan besar apakah petani Kertak Empat bisa mandiri cabai, atau terus menjadi penonton dalam permainan harga yang dikuasai pasar luar?
Dengan kegiatan ini, menjadi harapan baru bagi petani Kertak empat untuk hari esok yang lebih baik. (Stany)

 
							




