Banjir–Longsor Kepung 13 Daerah di Sumbar: Ribuan Warga Mengungsi, Akses Terputus, Tanggap Darurat Ditetapkan 14 Hari

Sumbar dilanda bencana hidrometeorologi, banjir bandang, serta longsor.

FAKTA — Bentang alam Sumatera Barat kembali diuji. Hujan ekstrem yang mengguyur sejak awal pekan menjelma menjadi rangkaian bencana hidrometeorologi, banjir bandang, serta longsor yang merangsek bersamaan di 13 kabupaten/kota. 

Pemerintah Provinsi Sumbar menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari, sebuah langkah yang menandai kondisi kedaruratan yang semakin meluas dan kompleks.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar mencatat dua korban jiwa masing-masing di Pasaman Barat dan Agam, sementara satu warga di Agam masih dinyatakan hilang. Jumlah kerugian sementara mencapai Rp4,9 miliar, namun BPBD mengingatkan angka itu akan terus berubah karena tim masih berupaya membuka akses dan melakukan asesmen di lapangan.

“Dalam informasi sementara, dua korban jiwa telah terkonfirmasi. Data terus bergerak karena laporan masuk setiap jam,” kata Juru Bicara BPBD Sumbar, Ilham Wahab, Kamis (27/11/2025). “Total 13 daerah terdampak, delapan di antaranya sudah menetapkan status tanggap darurat.”

Daerah-daerah terdampak meliputi Padang Pariaman, Kota Padang, Tanah Datar, Agam, Pesisir Selatan, Kabupaten Solok, Kota Pariaman, Pasaman Barat, Bukittinggi, Kota Solok, Padang Panjang, Limapuluh Kota, dan Pasaman.

Padang Pariaman Paling Parah, Agam Terisolir

Padang Pariaman menjadi episentrum banjir terluas. Sebanyak 42 nagari dari 17 kecamatan terendam, dua jembatan rusak, dan ribuan warga mengungsi. Di Kota Padang, 17 kelurahan berada dalam posisi siaga akibat banjir yang merendam permukiman padat.

Namun, Agam menjadi wilayah dengan dampak longsor paling ekstrem. Akses di beberapa titik terputus total, membuat proses evakuasi berjalan lambat. Di Malalak Timur, banjir bandang—atau galodo—menghantam Jorong Toboh pada Rabu (26/11) pukul 16.00 WIB. Rumah-rumah tersapu, jaringan listrik padam, dan sejumlah jembatan hanyut.

“Kami terkurung di posko pengungsian. Akses tertutup longsor. Informasi pasti belum bisa kami peroleh, karena situasi belum aman,” ujar Camat Malalak, Ulya Satar, yang dihubungi Kamis pagi.

Sedikitnya 70 kepala keluarga mengungsi ke empat titik berbeda, di antaranya Masjid Nurul Falah Limo Badak, Masjid Nurul Sa’adah, Masjid Nurul Iman, dan SD 01 Campago. Kebutuhan mendesak warga meliputi pangan, susu bayi, diapers, pembalut, selimut, hingga penerangan karena listrik padam sejak Selasa malam.

Akses Masih Terputus, Tim Evakuasi Terhambat

Kepala Pelaksana BPBD Agam, Rahmat Lasmono, mengakui medan menuju Malalak sangat sulit. “Tim belum bisa evakuasi korban karena longsor menutup banyak titik jalan,” ujarnya.

Basarnas, Brimob, dan relawan telah tiba di sekitar lokasi, tetapi tidak dapat menembus area terdampak karena jalan terban dan jembatan hanyut. Satu-satunya akses alternatif adalah jalur Sicincin–Tandikek–Malalak, yang jaraknya jauh lebih panjang bagi tim penyelamat.

BPBD Agam kini memprioritaskan pendirian dapur umum dan tenda darurat. Hingga Kamis dini hari, 135 kepala keluarga telah tercatat mengungsi di beberapa titik penampungan.

Koordinasi Nasional Diaktifkan

Pemerintah pusat bergerak cepat. Kementerian Koordinator PMK menjadwalkan rapat lintas kementerian untuk menyatukan langkah penanganan bencana, termasuk pengamanan logistik hingga percepatan pembukaan akses.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumbar, Arry Yuswandi, menegaskan bahwa status tanggap darurat di tingkat provinsi berlaku hingga 8 Desember 2025 dan bisa diperpanjang. Keputusan tersebut dituangkan dalam SK Gubernur Nomor 360-761-2025.

“Dengan cakupan bencana yang meliputi 13 kabupaten/kota, penetapan status tanggap darurat provinsi menjadi keharusan,” ujarnya. “Ini memungkinkan mobilisasi bantuan lebih cepat dan lintas sektor.”

Peringatan Hidrometeorologi Masih Tinggi

Curah hujan ekstrem yang terus berlanjut membuat ancaman susulan masih mungkin terjadi. Tim di lapangan juga menilai sejumlah sungai besar di Padang Pariaman, Agam, dan Pesisir Selatan berada pada kondisi kritis.

Sementara itu, warga di daerah rawan masih bertahan di pengungsian dengan akses terbatas. Laporan kebutuhan dasar terus bertambah, terutama untuk kelompok rentan seperti bayi dan lansia.

Bagi Sumbar, rangkaian bencana ini bukan hanya soal curah hujan, tetapi cerminan kerentanan struktur ruang dan mitigasi yang belum sepenuhnya siap menghadapi pola cuaca ekstrem.

Bencana di 13 daerah ini menjadi pengingat bahwa topografi indah Sumatera Barat menyimpan risiko besar. Kini, ribuan warga menantikan bagaimana negara hadir, bukan hanya dalam tanggap darurat, tetapi juga dalam rekonstruksi yang mengurangi risiko bencana di masa depan. (SS)