Ancaman PHK Hantui Industri Tekstil Dan Alas Kaki

Penurunan paling besar ialah produk alas kaki yang harganya berkisar Rp 100 ribuan
Penurunan paling besar ialah produk alas kaki yang harganya berkisar Rp 100 ribuan

ALIH-alih menguat, industri sepatu dan sandal mengalami penurunan menjelang lebaran. Hal ini mengejutkan para pemilik pabrik mengingat kontribusi penjualan sebelum idul fitri amat krusial.

Menurut Hariyanto, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia, penjualan produk alas kaki pada masa sebelum dan selama ramadan bisa menyumbangkan 40% hingga 50% penjualan setahun.

“Namun tahun ini jumlah itu merosot sedemikian drastis. Yang paling banyak mengalami penurunan adalah produk yang harganya berkisar Rp 100 ribuan. Merk-merk yang menjual produk tersebut sempat kaget karena biasanya pada masa-masa seperti ini mereka menikmati hasil penjualan yang luar biasa,” kata Hariyanto kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.

Akibat penurunan penjualan, sejumlah pabrik mengurangi produksi. Imbasnya, para karyawan tidak bisa mendulang pendapatan berlebih.

“Biasanya mereka sampai lembur menjelang lebaran,” kata Hariyanto.

Karyawan yang paling merasakan dampak tersebut ialah mereka yang bekerja pada usaha kecil dan menengah (UKM).

Jumlah UKM yang bergerak di bidang produksi alas kaki, kata Hariyanto, besar namun tidak terdata.

“Home industry biasanya punya karyawan 20 orang. Nah, bayangkan kalau jumlah home industry ribuan. Begitu produksi berhenti, usaha-usaha tersebut tidak punya pendapatan untuk menggaji karyawan yang diupah per hari,” ujarnya.

Merumahkan karyawan

Selama enam bulan terakhir sedikitnya 18 pabrik tekstil telah berhenti beroperasi dan merumahkan karyawannya
Selama enam bulan terakhir sedikitnya 18 pabrik tekstil telah berhenti beroperasi dan merumahkan karyawannya

Selain industri sepatu, industri yang terimbas perlambatan ekonomi ialah industri tekstil.

Selama enam bulan terakhir, sedikitnya 18 pabrik tekstil telah berhenti beroperasi dan merumahkan karyawannya.

Ade Sudradjat selaku Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengatakan memang belum ada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Namun, jam kerja karyawan sejumlah pabrik kini menjadi lebih pendek karena produk tidak bisa dijual.

Penyebab mandeknya penjualan, kata Ade, disebabkan daya beli masyarakat yang lemah dan tingginya ongkos produksi.

Adapun tingginya ongkos produksi terdiri dari sejumlah faktor, seperti kenaikan tarif listrik, asuransi, serta kewajiban pengusaha untuk membayar dana pensiun dan pesangon melalui BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Penuturan Ade diamini Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha.

Menurutnya, PHK terjadi tatkala buruh meminta kenaikan upah di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sektor yang paling parah terkena pukulan ini ialah industri padat karya, semisal industri tekstil dan industri alas kaki.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri tekstil dan produk tekstil serta industri, alas kaki menyumbangkan devisa ekspor non migas senilai US$17,32 miliar pada 2014.

Adapun penyerapan tenaga kerja kedua industri tersebut mencapai 15,1% dari total tenaga kerja industri manufaktur. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonlin.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com