Anak-anak Korban Lokalisasi Alami Trauma Mendalam

TINDAKAN tegas Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam mengalihfungsikan
beberapa lokalisasi di Surabaya, tidak sekadar untuk mengangkat martabat masyarakat
yang tinggal di sekitar kawasan lokalisasi agar beralih profesi menjadi lebih mandiri.

Anak-anak Korban Lokalisasi Alami Trauma Mendalam
Walikota Surabaya mengkhawatirkan bila kasus yang menimpa Mawar dan Melati tersebut merupakan fenomena gunung es

Lebih dari itu, penutupan lokalisasi juga dimaksudkan untuk menyelamatkan masa
depan anak-anak. Ini karena keberadaan lokalisasi ternyata menjadi horor menakutkan yang menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak yang selama ini tumbuh dan berkembang di kawasan mesum tersebut.
Gambaran horor menakutkan dari keberadaan lokalisasi terhadap kondisi psikologis anak-anak tersebut terungkap dari testimoni dua anak perempuan yang menjadi korban dari bisnis terlarang ini. Sebut saja namanya Mawar dan Melati (keduanya bukan nama sebenarnya). Keduanya mengalami kisah berbeda tetapi memiliki kesamaan, yakni sama-sama menjadi korban kekelaman dunia prostitusi.
Mawar (8 tahun) merupakan anak dari seorang pekerja seks komersial yang bekerja berpindah-pindah dari lokalisasi Moroseneng juga lokalisasi Dolly yang telah ditutup Pemkot Surabaya. Karena tumbuh di lingkungan lokalisasi yang minim perhatian orangtua dan terbiasa menyaksikan segala hal yang sejatinya tidak layak dia saksikan, dia pun menjadi anak yang dewasa sebelum waktunya.
Di usianya yang masih anak-anak, dia sudah mengalami overseks karena terbiasa bergaul dengan lawan jenis yang usianya lebih tua. Dia terbiasa bersolek dan pola pikirnya sudah layaknya orang dewasa.
“Anak ini dulunya ditemukan polisi ketika dia telantar di Pasar Benowo pas malam hari. Oleh pihak polisi kemudian diserahkan ke Satpol PP. Ini merupakan kasus pertama yang pernah terjadi di Surabaya,” ujar Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
Sementara Melati (13 tahun) yang dulunya dipekerjakan sebagai operator café oleh pemilik café di kawasan lokalisasi Moroseneng, Sememi, dirinya kemudian kecanduan narkoba setelah dipaksa nyabu oleh si pemilik café tersebut.
Dikatakan Melati, dirinya tidak bisa berbuat banyak ketika si pemilik café melakukan segala cara agar dirinya tetap bekerja di café tersebut. Selain dipaksa mengkonsumsi sabu, si pemilik café juga membuatkan KTP palsu meski tahu dirinya belum cukup umur untuk memiliki KTP. Si pemilik café tersebut kini sudah mendekam di Rutan Medaeng.
Melati mengatakan, dirinya tidak sendirian. Menurutnya, di tempat cafénya bekerja dan juga café lainnya di kawasan lokalisasi tersebut, ada sekitar 10 anak se-usianya yang juga dipekerjakan sebagai operator café. “Teman-teman saya di sana ada sekitar 10 anak. Usianya rata-rata masih 16 tahun,” ujarnya.
Walikota mengkhawatirkan bila kasus yang menimpa Mawar dan Melati tersebut merupakan fenomena gunung es. Artinya, keduanya hanya sedikit yang ketahuan. “Mereka mengalami trauma yang mendalam. Bahkan, psikolog pun ndak sanggup untuk memulihkan mereka. Traumatis itulah yang harus kita atasi,” jelas walikota.
Sementara Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas KB) Kota Surabaya, Nanis Chairani, mengatakan, anak-anak yang tumbuh di kawasan lokalisasi, perilaku mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lihat di lingkungan sekitar mereka.
“Anak-anak yang tumbuh di kawasan lokalisasi, otak mereka terbiasa merekam apa yang mereka lihat di sana. Itu yang membuat mereka ada yang ketagihan narkoba hingga overseks,” ujar Nanis. (Press Release)