KEMAJUAN suatu daerah salah satu faktor penentunya adalah manajemen birokrasi pemerintahannya. Apabila manajemen birokrasi pemerintahannya bagus maka elemen serta organ-organ yang ada di tubuh birokrasi itu akan bekerja secara profesional sesuai dengan prosedur dan aturan. Tapi realita yang ada, kebanyakan kebobrokan suatu daerah diawali dari tumbuhnya penyakit korupsi di birokrasi tersebut. Salah satu contohnya adalah pungli (pungutan liar).
Tidak terkecuali yang dialami oleh satu keluarga di salah satu desa di Kecamatan Sidamanik ini. Kronologinya berawal dari kurang akurnya PS (59) dan adiknya, TS, yang beralamat di Desa Ambarisan, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Mereka sering cekcok gara-gara sebidang tanah warisan kakeknya. Untuk menyelesaikan permasalahan ini pada tanggal 2 Februari 2016 berkumpullah beberapa anggota keluarga besar mereka beserta tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat yaitu kepala desa dan aparatnya. Di forum keluarga ini disepakati bahwa tanah warisan tersebut akan dibagi rata kepada yang berhak. Kepala Desa Ambarisan, Raslan Purba, mengatakan bahwa biaya pengukuran lahan warisan ini sebesar Rp 1.000.000. Untuk menindaklanjuti pembagian warisan ini ditentukanlah waktu pengukurannya yaitu tanggal 6 Februari 2016.
Sesusai dengan kesepakatan, pada tanggal 6 Februari 2016 keluarga yang hadir berangkat ke lahan warisan yang akan diukur. Singkat cerita, saat itu dari aparat desa dihadiri oleh Oster Manik (RT), Josua Sidauruk (RW), dibantu oleh keluarga tanpa dihadiri oleh Kepala Desa Raslan Purba. Setelah rampung pengukuran keliling secara keseluruhan maka diketahui luas tanah ± 36 rante (1 rante = 400 m). Pengukuran ini secara global. Setelah selesai mengukur lahan tersebut maka keluarga berkumpul di rumah salah satu anggota keluarga.
Saat itu anggota keluarga ini bertanya kepada Josua Sidauruk (RW) berapa biaya pengukuran lahan tadi ? Oleh Josua Sidauruk (RW) dijawab beri saja dari situ. Maka pihak keluarga yang berhak menyerahkan uang sebesar Rp 500.000,- kepada Josua Sidauruk (RW) sambil mengucapkan terima kasih bahwa pengukuran telah selesai dilakukan. Dan RW pun pulang. Tapi tidak berselang lama (±15 menit) kemudian Oster Manik (RT) datang sambil mengatakan bahwa ia baru saja ditelepon Kepala Desa Raslan Purba bahwa uang yang Rp 500.000,- tadi masih kurang dan harus dipenuhi sebesar Rp 1.000.000.
Mendengar perkataan RT tadi maka keluarga mengumpulkan uang Rp 500.000,- lagi sehingga terpenuhi jumlahnya sebesar Rp 1.000.000,- yang kemudian diserahkan kepada Oster Manik (RT) walaupun dengan perasaan kecewa dan berat hati.
Melihat kejadian ini, Saridin Sinaga dari FAKTA meminta keterangan dari salah satu aparat desa sebelah yang tak ingin disebut jati dirinya yang mengatakan bahwa biaya pengukuran lahan masyarakat sebesar Rp 1.000.000,- itu sudah luar biasa dan sudah pemerasan namanya. Menurut aparat desa itu, mengukur dan membuat surat dan sudah ditandatangani camat biayanya hanya Rp 700.000. Ini hanya mengukur biayanya Rp 1 juta. Sungguh luar biasa ! “Ketika diadakan pengukuran lahan, kepala desa harus hadir di lokasi, tidak boleh hanya menerima uangnya saja,” tambahnya. (F.615) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com