Semua  

Rani, Pulanglah Nak …

Rani, Pulanglah Nak …LANGIT mendung di Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah, membuatku kembali dalam kegalauan yang tiada bertepi. Agaknya hujan segera akan turun. Tapi, aku masih enggan beranjak. Dari sudut terminal legendaris ini aku masih terus mengawasi tiap wanita muda, kalau-kalau saja aku menemukan buah hatiku, Rani. Terhitung dua tahun ini ia pergi meninggalkan bapaknya ini tanpa kabar lagi.

Namaku, Roy, 43 tahun, berdomisili di Yogyakarta. Aku seorang bapak dari tiga orang putri yang masing-masing bernama Lia, Mitha dan Rani. Ketika mereka masih kecil-kecil, saya berpisah dengan ibu mereka, Marcella, yakni istri saya. Lia dan Mitha ikut ibunya di Jakarta, sedang si bungsu, Rani, ikut saya.

Sejak balita Rani hidup dan tinggal bersamaku di Yogya. Sejak kecil itu pula dia sudah memiliki bakat untuk menjadi seorang entertainer. Dia suka mengikuti berbagai lomba nyanyi maupun modeling. Menginjak usia remaja dia semakin menunjukkan bakatnya.

Rani mengawali karir nyanyinya di panggung hiburan Pariwisata Yogyakarta. Kemudian dia bergabung dengan OM Star Galaxy & OM Latanza. Bergabung dalam musik tradisional campursari pun dirambahnya, antara lain Sri Kencono Laras & Wahyu Iromo.

Untuk mengisi waktu luang dan menambah jam terbangnya dia bahkan manggung dari cafe ke cafe yang ada di Kota Yogya. Semua kegiatan itu tentunya dilakoninya di malam hari atau hari libur karena dia saat itu masih berstatus siswi di salah satu SMP Negeri di Kota Yogyakarta.

Dari semua aktivitas di dunia hiburan yang dijalaninya itu, membuat nama Devyarani akhirnya dikenal masyarakat Yogya dan termasuk dalam deretan papan atas untuk artis-artis lokal di Yogyakarta.

Kehidupan ekonomi kami berdua pun boleh dibilang sangat berkecukupan. Sampai akhirnya kehidupan kami yang tenang dan bahagia itu harus berubah kacau-balau dan terpuruk. Perubahan itu terjadi dalam sekejap mata, akibat bencana gempa bumi yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2006 lalu. Adanya isu-isu bahwa akan datang tsunami dan gempa-gempa susulan, membuat kami akhirnya memutuskan untuk pindah sementara ke Kota Solo, meninggalkan rumah beserta seisinya.

Di Solo kami memilih kos di daerah Pandean, kemudian kami pindah lagi ke Nusukan yang masih berada di wilayah kota ini. Namun, yang menyesakkan dada, job manggung Rani jadi sepi, akibat lumpuhnya perekonomian Kota Yogya ditambah lagi dengan banyaknya tempat-tempat hiburan yang tutup. Hingga akhirnya anakku, Rani, memutuskan untuk bekerja di sebuah salon yang bernama Venessa di Jalan Pattimura, Solo, dan tidak melanjutkan sekolahnya di bangku SMA.

Berawal dari sinilah masalah itu terjadi. Rani berkenalan dengan seorang sopir angkot 02 jurusan Giriroto – Klewer yang bernama Hari Mulyono. Tak lain adalah angkot yang setiap hari melewati tempat kerja Rani.

Sebagai bapaknya, aku sangat menentang hubungan mereka. Di mataku jelas-jelas terlihat adanya perbedaan yang sangat jauh di antara mereka baik dari segi usia maupun status sosial dan ekonomi. Hari hanyalah seorang sopir angkot yang juga sudah beristri dan memiliki 2 orang anak, sedangkan Rani masih sangat belia dan baru berusia 14 tahun, cantik dan memiliki masa depan yang sangat menjanjikan.

Alasanku realistis saja, apakah Hari akan sanggup memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka kelak ? Apalagi dia masih berstatus suami orang. Dan, apakah dia sanggup membiayai kebutuhan Rani yang sangat fashionable ? Kehidupan Rani sebagai seorang penyanyi tentunya sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk menunjang penampilannya.

Tapi, aku juga mendapat tantangan dari Rani. Dia bersikeras untuk hidup bersama Hari dengan alasan pacarnya itu sudah berpisah dengan istrinya. Dan, yang sangat membuatku terpukul adalah pengakuan Rani yang mengatakan kalau sebenarnya dia sudah tidak perawan lagi dan semuanya telah diserahkan kepada Hari.

Aku kalap saat Hari bertandang ke rumah. Aku maki-maki dia dan kuusir dia. Sejak kejadian itu Hari menghilang dan tidak menampakkan batang hidungnya lagi. Teman-teman sopirnya di pangkalan 02 semua tidak mengetahui keberadaannya. Juga ketika aku mendatangi istrinya, Tutiek, di Jebres, tapi Hari tidak berada di sana. Tutiek pun sangat terkejut dan marah dengan perilaku Hari karena menurutnya kejadian seperti itu bukan kali ini saja.

Sampai akhirnya peristiwa itu terjadi. Pagi itu (kucatat tanggal kejadiannya 18 Pebruari 2007) seperti biasa Rani mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Bahkan aku sempat menemani dia sarapan pagi. Tidak ada yang aneh saat itu karena semua berjalan seperti biasanya bahkan sampai aku mengantarnya ke jalan raya untuk mendapatkan kendaraan menuju salon tempatnya bekerja.

Menjelang jam lima sore aku berusaha menghubungi Rani lewat HP-nya, untuk menyuruhnya segera pulang karena cuaca di luar sangat mendung. Saat itu dia masih sempat menjawab teleponku dan mengatakan kalau dia masih dalam perjalanan menuju rumah.

Beberapa saat kemudian aku mencoba menghubunginya lagi karena hujan sudah turun dengan derasnya. Maksudku, untuk memastikan apakah dia benar-benar sudah mendapatkan angkutan menuju pulang. Tapi, ternyata HP-nya tidak aktif dan setelah itu tidak bisa dihubungi lagi.

Hingga aku menuturkan kisahku ini di Majalah FAKTA. Aku tidak tahu dia ke mana dan di mana kini Rani berada. Yang lebih mengejutkanku, ternyata semua telah dipersiapkan Rani dengan matang. Aku cek uang simpanannya, perhiasannya, akte kelahirannya, sampai sepasang buku nikah milikku dan ijazahnya semua telah raib.

Kabar terakhir yang aku dengar dari seorang pengamen yang biasa ngamen di Terminal Tirtonadi, Solo, sekitar 2 bulan lalu mereka sempat terlihat jalan berdua dan menggendong seorang bayi. Ah, benarkah mereka diam-diam telah menikah ?

Namun, aku masih tetap berharap kepulangan Rani. Rani, pulanglah nak … (Seperti dituturkan Roy kepada FAKTA)