FAKTA – Kayu-kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir bandang di wilayah Garoga, Kabupaten Tapanuli Utara, hingga Anggoli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, kini menjadi pintu masuk penyelidikan perkara yang lebih besar.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri resmi menaikkan penanganan kasus tersebut ke tahap penyidikan, dengan fokus pada dugaan tindak pidana lingkungan hidup dan kemungkinan penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penyidikan ini tak sekadar menelusuri asal-usul kayu yang muncul di aliran sungai pascabanjir. Aparat penegak hukum tengah membedah rangkaian aktivitas di kawasan hulu sungai yang diduga menjadi sumber bencana sekaligus keuntungan ekonomi ilegal. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Mohammad Irhamni menegaskan, penyidik akan mengurai pertanggungjawaban hukum secara menyeluruh, baik terhadap individu maupun korporasi.
“Kami terapkan tindak pidana lingkungan hidup, kemudian pencucian uang, sekaligus nanti pertanggungjawaban perorangan ataupun korporasi,” ujar Irhamni, Selasa (16/12/2025).
Fokus awal penyidikan mengarah pada satu korporasi yang diduga terkait langsung dengan kayu gelondongan yang hanyut saat banjir bandang melanda kawasan Tapanuli.
Kayu-kayu tersebut diduga berasal dari aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan PT TBS, yang disinyalir tidak mematuhi ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).
Menurut Irhamni, dugaan pembukaan lahan itu tidak bersifat insidental. Indikasi awal menunjukkan aktivitas tersebut telah berlangsung sekitar satu tahun.
Namun, penyidik belum beranjak pada kesimpulan akhir. Dokumen perencanaan, perizinan, serta bukti pendukung lain masih diteliti untuk memastikan kesesuaian antara aktivitas di lapangan dan kewajiban hukum korporasi.
“Kurang lebih sesuai keterangan sekitar setahun yang lalu. Tetapi kami masih meneliti kembali dokumen, perencanaan, dan bukti-bukti lainnya,” katanya.
Hingga kini, Bareskrim belum menetapkan tersangka. Penyidik memilih menguatkan konstruksi perkara dengan mengumpulkan alat bukti secara komprehensif.
Langkah ini dinilai krusial, mengingat perkara menyangkut dugaan kejahatan lingkungan yang beririsan dengan potensi kerugian negara dan bencana ekologis.
Tak berhenti pada satu entitas, penyidikan juga membuka kemungkinan keterlibatan korporasi lain. Hulu Sungai Aek Garoga yang membentang sekitar 120 kilometer menjadi wilayah krusial yang tengah dipetakan aktivitasnya.
Setiap pembukaan lahan, penebangan, hingga alur distribusi kayu ditelusuri untuk mengetahui siapa saja pihak yang beroperasi dan sejauh mana kepatuhan mereka terhadap regulasi.
“Korporasi yang kami dalami saat ini masih satu, namun kami terus memaksimalkan upaya untuk mengetahui kegiatan apa saja dan pihak mana saja yang beroperasi di sepanjang hulu sungai tersebut,” jelas Irhamni.
Dari sisi penuntutan, Kejaksaan Agung memastikan ikut mengawal perkara sejak awal. Direktur D Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Sugeng Riyanta mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari penyidik terkait dugaan tindak pidana lingkungan hidup di wilayah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah yang melibatkan sebuah korporasi.
Sugeng menegaskan, perkara ini tidak berdiri sendiri sebagai pelanggaran administratif atau lingkungan semata.
Ada dugaan kuat hubungan sebab-akibat antara aktivitas pembukaan lahan dan terjadinya banjir bandang yang berdampak luas bagi masyarakat.
“Perbuatan ini patut diduga tidak sekadar tindak pidana lingkungan hidup, tetapi mengakibatkan bencana. Ada hubungan sebab-akibat yang sedang kami dalami,” ujarnya.
Untuk memastikan penanganan perkara berjalan solid, jaksa penuntut umum dilibatkan sejak tahap awal penyidikan. Pendekatan ini bertujuan menghindari ego sektoral sekaligus memastikan berkas perkara tersusun kuat dan tidak berulang kali dikembalikan.
“Tujuannya agar penegakan hukum berjalan benar, berkualitas, dan tidak terjadi ego sektoral ataupun berkas bolak-balik,” tegas Sugeng.
Dalam pengusutan kasus ini, Bareskrim juga menggandeng lintas kementerian dan lembaga, mulai dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Peran BPKP dinilai strategis untuk menghitung nilai kerugian lingkungan yang ditimbulkan, sebagai dasar penting dalam pembuktian di pengadilan.
“Kerugian lingkungan harus dihitung secara profesional oleh auditor negara agar menjadi dasar yang kuat dalam proses penegakan hukum,” pungkas Irhamni.
Kasus kayu hanyut di Tapanuli kini tak lagi dipandang sebagai peristiwa alam semata. Ia menjelma menjadi simpul penyelidikan besar, yang berpotensi membuka praktik kejahatan lingkungan terstruktur, sekaligus menguji komitmen negara dalam menindak korporasi yang merusak alam demi keuntungan. (F1)






