FAKTA — Saat sirene darurat bencana masih meraung di banyak nagari, dan warga masih berjaga menanti kabar jenazah saudara mereka yang hilang disapu arus, sebuah rombongan pejabat daerah memilih perjalanan jauh yang lebih hangat: kunjungan kerja ke Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara ekskavator menggali tanah longsor, sebagian anggota DPRD Padang Pariaman justru menggali “pengetahuan baru” di luar daerah. Ironisnya, rombongan berangkat ketika kabupaten tengah menetapkan status tanggap darurat, dan sebagian wilayah masih berselimut duka.
“Anggota DPRD seharusnya punya hati nurani, lah. Di tengah kami masih berduka, kok masih sempat-sempatnya Kunker,” ujar seorang warga Lubuk Alung yang menolak disebutkan namanya. Suaranya tenang, tapi getir terasa. “Kalau bisa, ya ditunda dulu. Ini kan masa darurat. Banyak warga masih butuh uluran tangan, bukan laporan perjalanan.”
Warga itu tak sendiri. Keluhan bernada serupa berseliweran di warung, posko, dan grup WhatsApp pengungsi. Di tengah kabut duka, perjalanan dinas terasa seperti kunjungan wisata dengan label resmi.
Namun, Ketua Komisi IV DPRD Padang Pariaman, Afredison, punya penjelasan yang lebih rapi dari tumpukan berkas agenda Bamus.
Menurutnya, anggapan bahwa anggota dewan tak merasakan derita rakyat adalah informasi yang “tidak benar dan perlu diluruskan.” Ia menegaskan bahwa lima hari sebelum keberangkatan para anggota DPRD telah terjun langsung ke lapangan membantu evakuasi, mendampingi distribusi bantuan, hingga meninjau kerusakan.
“Setiap hari anggota dewan berada di lapangan saat fase darurat,” ujar Afredison dengan tegas. “Setelah memasuki masa pemulihan, pekerjaan teknis lebih banyak dilakukan alat berat dan tim teknis, bukan DPRD. Tugas kami lebih ke pengawasan.”
Dalam kacamata Afredison, masa pemulihan tampaknya adalah titik yang cukup tepat untuk sebuah perjalanan kerja keluar daerah. Lagipula, menurutnya, agenda kunker sudah direncanakan jauh hari, disahkan Bamus, dan sudah ada surat-menyurat antardaerah. “Tidak mungkin serta merta dibatalkan,” katanya.
Tentu saja, banyak warga yang bertanya-tanya dalam hati, jika bencana alam tak pernah meminta izin sebelum datang, mengapa agenda pejabat terasa begitu suci untuk disentuh perubahan?
Afredison melanjutkan, hanya sebagian anggota Komisi IV dan beberapa dari Komisi I yang berangkat. “Banyak anggota yang standby di daerah,” ujarnya. Stand-by, kata yang dalam konteks bencana bisa berarti berjaga, atau sekadar tetap berada di rumah masing-masing menunggu instruksi.
Ia membantah keras bahwa DPRD meninggalkan daerah. Menurutnya, lembaga itu sudah melakukan banyak langkah sejak awal bencana: mengawal bantuan, mengoordinasikan kebutuhan masyarakat, hingga memastikan alat berat terdistribusi. “Jangan sampai publik terpengaruh informasi yang belum terverifikasi,” ujarnya.
Tetapi di lapangan, warga bertanya hal lain. Kalau bencana masih berlangsung, pencarian korban belum usai, dan status darurat masih terpasang, perlukah pejabat melakukan perjalanan dinas ke luar provinsi sekarang juga? Pertanyaan itu menggantung, lebih berat dari tanah basah yang menimbun rumah-rumah warga.
Dalam tragedi, rakyat menunggu kepastian dan keteladanan. Mereka tidak menolak penjelasan, tapi membutuhkan empati yang tampak, bukan hanya tertera dalam siaran pers.
Mereka tak melarang kunker, tetapi berharap ada prioritas, antara mengurus korban atau mengurus agenda lama.
Padang Pariaman memang sedang tangguh menahan luka. Yang tersisa sekarang hanya satu harapan: semoga rombongan yang berangkat pulang dengan sesuatu yang benar-benar berguna—bukan sekadar oleh-oleh. (ss)






