Sumatera Barat Sedang Berduka: dan Kita Masih Saja Sibuk Menyalahkan Awan

Oleh : Syafrial Suger (Wartawan Fakta)

Sumatera Barat kembali berduka. Tapi, mari kita jujur, duka ini sudah seperti langganan tahunan, semacam “paket berlangganan premium” yang diberikan alam kepada kita, persis karena kita begitu rajin merusaknya.

Di tanah yang pernah menjadi mercusuar peradaban Minangkabau, November 2025 kembali menggelar drama klasik: banjir, longsor, tanggap darurat, konferensi pers, dan tentu saja, janji penanganan jangka panjang yang biasanya berumur tak lebih dari masa simpan nasi bungkus posko bencana.

Tragedi ini seharusnya mengajarkan kita banyak hal. Tapi sayangnya, yang tampak justru seolah-olah alam sudah kehabisan cara halus untuk menegur, sehingga ia memilih metode “palu godam”: menghantam 13 kabupaten/kota sekaligus. Barangkali ia berpikir, “Kalau pesan halus tak didengar, mungkin banjir setinggi dada bisa membantu.”

Belum kering ingatan kita pada runtuhnya Lembah Anai tahun lalu, yang fotonya sempat viral, dijadikan wallpaper, bahkan meme, kini episode baru muncul dengan kualitas gambar lebih tinggi dan dampak lebih luas.

Air bah melahap Padang Pariaman, longsor menutup jalan di Agam, kampus UIN Imam Bonjol tergolek tak berdaya, seolah pendidikan tinggi pun menyerah pada tata ruang rendah.

Tapi seperti biasa, kita punya alasan standar: curah hujan ekstrem. Padahal kalau hujan bisa bicara, mungkin dia akan berkata:

“Jangan salahkan saya, saya hanya turun di tempat yang kalian kotori sendiri.”

Dengan segala hormat, bencana ini bukan lagi tentang anomali cuaca atau nasib geologis. Ini tentang kebijakan yang buta huruf, tuli, dan rabun jauh—policy blindness versi kita.Sudah berkali-kali BMKG memberi peringatan dini. Namun peringatan itu sering berakhir seperti pesan WhatsApp keluarga: dibaca, diabaikan, lalu ditinggalkan tanpa respons.

Dan setiap kali jembatan putus atau jalan terban, kita pura-pura terkejut. Padahal yang benar adalah: kita sedang dipermalukan oleh infrastruktur yang dibangun tanpa logika mitigasi, seperti PR matematika dikerjakan lima menit sebelum masuk kelas.

Penetapan Tanggap Darurat 25 November–8 Desember 2025 terdengar heroik, kecuali bila kita menyadari ini lebih mirip autopilot administrasi daripada tindakan visioner. Ritualnya selalu sama:

Bencana datang.

Pemerintah menetapkan tanggap darurat.

Bantuan dibagikan.

Foto diambil.

Bencana mereda.

Kita lupa.

Siklus kembali ke nomor satu.

Sebuah siklus yang begitu rapi, seakan dibuat oleh birokrat yang punya hobi memelihara penderitaan.

Sumatera Barat adalah “surga geografi” yang disulap menjadi “laboratorium bencana”. Dan semuanya dimulai dari satu hal: tata ruang yang diperlakukan seperti rekomendasi diet—sering dibaca, jarang dipatuhi.

Hulu sungai berubah jadi cluster perumahan bernama Green Valley—ironis, karena satu-satunya yang hijau adalah spanduk promonya.

Bantaran sungai disemen seolah air bisa dinegosiasi seperti proyek tender.

Zona merah kembali dipadati usaha wisata.

Seakan-akan kita menantang alam sambil berkata:”Coba kalau berani, hantam lagi!”

Dan alam, tentu saja, selalu menerima tantangan itu tanpa ragu.

Tulisan ini tidak hanya ingin mencibir, tapi juga mengingatkan bahwa jalan keluar itu ada, kalau saja kita mau membuka mata lebih lebar dari amplop izin pembangunan.

Pertama, hentikan anggapan bahwa banjir dan longsor bagian dari “tradisi musim hujan.” Tradisi apa yang merendam rumah dan memutus nyawa?

Kedua, moratorium total di zona merah. Jangan lagi mengizinkan bangunan di lokasi yang bahkan kambing pun enggan mendaki.

Ketiga, bangun sistem mitigasi modern berbasis nagari. Early Warning System bukan ornamen proyek, tapi alat hidup-mati.

Sumatera Barat memiliki modal sosial terkuat di Indonesia: kearifan lokal. Tapi itu takkan berguna jika perangkat deteksi banjirnya mati lampu dan sirinenya karatan.

Sumatera Barat sedang berkabung. Tapi air mata tak akan memperkuat tanggul, dan doa tidak akan menahan longsor bila bukit telah digunduli.

Bencana November 2025 ini adalah ultimatum dari alam:

“Berbenahlah, atau aku akan bicara lebih keras.”

Kalau kita terus berjalan dengan cara ini, kita bukan hanya sedang meninggalkan tanah air untuk generasi mendatang. Kita sedang mewariskan katalog bencana yang siap diperbarui tiap tahun.

Saatnya negara berhenti berperan sebagai pemadam kebakaran yang selalu datang terlambat.Saatnya hadir sebagai pelindung—bukan penonton—dalam panggung yang semakin dipenuhi air mata.

Sebelum yang tersisa dari Sumatera Barat hanyalah namanya di peta, dan kenangan tentang negeri yang indah, tapi perlahan menenggelamkan dirinya sendiri.

*) Penulis adalah memiliki sertifikasi dari Dewan Pers