Padang Pariaman yang Terlalu Akrab dengan Bencana

Oleh: Syafrial Suger

Tidak banyak daerah di republik ini yang begitu setia ditemani bencana seperti Padang Pariaman. Jika bencana bisa memilih tempat tinggal, mereka mungkin akan mendaftar KTP di sini, mencatatkan diri sebagai warga tetap, dan ikut pemilu setiap lima tahun.

Saking akrabnya, sebagian warga bercanda bahwa Padang Pariaman sebenarnya punya dua musim saja, musim hujan, dan musim menunggu banjir.

Dalam 36 jam terakhir, kabupaten ini kembali menjadi panggung besar bagi kekacauan hidrometeorologi, banjir merendam, longsor memutus jalan, tanah amblas menelan aspal, dan semua itu diiringi paduan suara pejabat yang, seperti tahun sebelumnya, mengaku terkejut.

Kejutan yang aneh, mengingat pola yang sama berulang nyaris setiap bencana melanda daerah. Jika ada kompetisi nasional siapa daerah dengan kemampuan terbaik merawat ketidakberesan tata ruang, Padang Pariaman mungkin juara bertahan.

AIR YANG DITUDUH, MANUSIA YANG MENGHILANG

Hujan deras sejak Sabtu bukan fenomena baru. Namun reaksi terhadapnya selalu berhasil menjadi drama baru. Sungai-sungai besar, Batang Anai, Batang Ulakan, Batang Tapakih, Batang Kamumuan, serentak meluap seperti sedang melakukan aksi mogok nasional.

Jika air bisa bersuara, mungkin ia akan menulis siaran pers, “Kami minta maaf, bukannya ingin meluap, tapi jalur kami penuh sedimen dan bangunan manusia.” Sayangnya, air tidak bisa mengadakan konferensi pers.

Yang bisa berbicara justru mereka yang duduk dalam forum rapat-rapat formal itu, para pejabat yang tiap tahun membacakan rekomendasi normalisasi sungai dengan suara mantap, rekomendasi yang kemudian menghilang entah ke laci siapa.BPBD mencatat banjir kali ini termasuk terluas dalam lima tahun terakhir:

11 kecamatan terdampak, 438 rumah terendam, 93 hektare sawah rusak total, kebun jagung yang baru tumbuh seakan dipotong masa depannya. Petani menatap lahan yang berubah menjadi kolam.

Pemerintah menatap laporan kerusakan yang berubah menjadi berkas permohonan bantuan pusat, dan semuanya berjalan seperti biasa, seperti buku panduan yang tidak pernah direvisi.

BUPATI TURUN KE LAPANGAN: ANTARA LUMPUR DAN LENSA KAMERA

Bupati John Kenedy Azis, atau JKA, turun ke lapangan. Ini tentu patut diapresiasi. Di negara yang pejabatnya kadang alergi lumpur, turun ke lokasi bencana adalah prestasi moral tersendiri.

Ia menyusuri genangan, memeriksa dapur umum, memantau evakuasi, dan memastikan setiap titik terdampak masuk laporan. Ia terlihat bekerja.

Namun di era kamera ada di mana-mana, kerja ini selalu berdampingan dengan citra. Langkah bupati bukan sekadar langkah penanganan, tetapi juga langkah koreografi, memastikan sudut kamera tidak kelewatan.

Di sela kesibukannya, ia berkata, “APBD kami tidak sanggup memperbaiki semua yang rusak. Kami butuh pemerintah pusat.

”Betul. Tapi masyarakat juga punya pertanyaan sederhana, “Bukankah permintaan normalisasi sungai sudah diajukan sejak lima tahun lalu?

”Nah…! di sinilah pernyataan pejabat lokal selalu berakhir di kalimat “kami butuh pusat,” seakan pemerintah daerah hanya punya dua fungsi resmi, membuat proposal dan melaporkan kerusakan.

Mungkin, suatu hari nanti, ada pejabat yang berani berkata jujur, “Kami sebenarnya tahu masalahnya, tapi kami tidak tahu bagaimana mengubah prosedur agar pekerjaan selesai sebelum banjir berikutnya.” Sayangnya, hari itu belum tiba.

KEMAMPUAN PENANGANAN DARURAT: SESEBUAH PRESTASI DALAM KEGAGALAN

Tidak ada yang meragukan ketangkasan Padang Pariaman ketika bencana sudah terjadi. TNI-Polri bergerak cepat, TRC PB mengevakuasi warga, relawan nagari bekerja maksimal, puskesmas menyiapkan layanan keliling, dapur umum mengepul sejak dini hari.

Semuanya bekerja seperti tim penyelamat yang sudah terlalu sering latihan, karena realitanya, mereka memang terlalu sering bekerja dalam situasi darurat.

Bencana adalah pelajaran yang tidak pernah lulus. Dan negar, entah mengapa, paling ahli mengurus darurat dibanding pencegahan. Begitu mahirnya hingga kita patut bertanya, “Apakah negara sengaja membiarkan bencana agar dapat menunjukkan keahlian penanganan cepatnya?”

Di depan RSUD, jalan terputus.Ironi yang terlalu mahal, akses menuju fasilitas kesehatan justru menjadi pasien pertama yang harus dirawat.

PENELUSURAN: NORMALISASI SUNGAI, MANTRA YANG TAK PERNAH BERUJUNG

Kadang-kadang timbul pertanyaan mengelitik dari warga, mengapa sungai tidak dinormalisasi secara optimal.Dalam berbagai dokumen formal, normalisasi Batang Ulakan dan sungai lainnya selalu masuk prioritas. Selalu dibahas, selalu dianggap mendesak, selalu diusulkan, dan bahkan ada sebagian telah dieksekusi.

Warga sudah hafal polanya:hujan → banjir → pejabat datang → foto → pernyataan serius → usulan ke pusat → berita harapan baru → musim kemarau → lupa → hujan lagi.

Balai Wilayah Sungai (BWS) adalah lembaga yang berwenang. Tapi kewenangan itu seolah tersesat dalam labirin birokrasi. Apa pun yang terjadi selalu berakhir pada jawaban standar:

“masih dalam proses”

“masih tahap kajian”

“menunggu persetujuan anggaran”

“menunggu cuaca stabil”

“menunggu revisi dokumen”

“menunggu sinkronisasi program nasional”

Jika birokrasi adalah sungai, mungkin alirannya lebih mampet daripada sungai-sungai itu sendiri. Sungai menunggu normalisasi.Warga menunggu sungai. Pejabat menunggu pusat.

Pusat menunggu proposal final. Proposal menunggu revisi. Revisi menunggu tanda tangan. Tanda tangan menunggu jadwal.Jadwal menunggu waktu luang.Waktu luang menunggu banjir berikutnya.Sebuah siklus yang lebih stabil daripada kalender musim.

TATA RUANG: ANTARA PILIHAN DAN PENYALAHGUNAAN

Padang Pariaman bukan sekadar korban cuaca ekstrem. Ia korban dari keputusan tata ruang yang tidak berani mengatakan “tidak.

”Rumah dibangun di bantaran sungai, izin usaha diberikan di lokasi rawan, sedimentasi dibiarkan menumpuk, sungai menyempit sambil bertahan hidup di antara beton.

Pemerintah daerah memang punya keterbatasan, tapi juga punya kewenangan yang tidak digunakan dengan cukup tegas.

Perubahan iklim memperparah.Tapi perubahan tata ruang mempercepat kehancuran. Sebagian pejabat masih senang menyalahkan hujan. Karena hujan tidak bisa membantah. Atau menggugat.

MENYELAMI CERITA WARGA: KORBAN YANG TERLALU BIASA MENJADI KORBAN

Di Nagari Toboh Gadang, seorang nenek berusia 63 tahun bercerita sambil duduk di atas kasur gulungan di posko, “Banjir kini bukan lagi bencana, Nak. Banjir itu seperti tamu tahunan. Kami cuma tidak tahu kapan ia datang.

”Di Kampung Galapuang, ibu-ibu memasak di dapur umum. Mereka hafal prosedurnya: siapa memotong sayur, siapa menjaga api, siapa menyuplai air. Semuanya bekerja dengan efisiensi yang seharusnya dimiliki pemerintah.

Di Ulakan, petani padi memandangi sawah yang berubah menjadi danau. “Airnya tinggi sekali. Ini bukan banjir, ini peringatan,” katanya.

Peringatan yang setiap tahun diberikan, tapi tidak ada yang mencatatnya di rapat resmi.Warga mengungsi. Tapi yang lebih menyedihkan, kepercayaan kepada negara juga ikut mengungsi.

USUL STATUS TANGGAP DARURAT: ANTARA SERIUS DAN SEREMONIAL

Pemkab sedang mengusulkan status tanggap darurat ke BNPB. Tentu ini prosedur yang benar. Tapi warga bertanya, “Mengapa selalu tanggap darurat setelah terjadi? Mengapa tidak ada tanggap pencegahan?”

Buku besar penanganan bencana Padang Pariaman semakin tebal. Bab tahun 2025 baru ditulis, tetapi isinya tidak jauh berbeda dari bab tahun 2024, 2023, dan 2022.

Kalimat yang paling sering muncul:“akan ditindaklanjuti,” yang dalam bahasa birokrasi sebenarnya bermakna: “masih entah kapan.”

ANDAI BENCANA BISA MEMBERIKAN RAPORT

Sebagai latihan intelektual, mari kita bayangkan bencana memberi nilai raport kepada pemerintah:

1. Pencegahan

Nilai: 4 dari 10K

Komentar: “Sudah tahu masalahnya sejak lama, tapi masih menunggu hujan untuk bergerak.”

2. Respons Darurat

Nilai: 9 dari 10

Komentar: “Hebat. Bahkan terlalu hebat. Jangan-jangan memang sudah terbiasa?”

3. Penyusunan Kebijakan

Nilai: 5 dari 10

Komentar: “Banyak rekomendasi, sedikit realisasi.”

4. Ketegasan Tata Ruang

Nilai: 3 dari 10

Komentar: “Tidak ada yang berani menolak bangunan di daerah rawan.”

5. Komunikasi Publik

Nilai: 8 dari 10

Komentar: “Pernyataan pejabat sangat rapi. Kamera membantu.”

6. Kemauan Membongkar Akar Masalah

Nilai: 2 dari 10

Komentar: “Lebih suka menyalahkan cuaca.”Jika ini adalah raport sekolah, orang tua murid mungkin sudah dipanggil oleh wali kelas.

BWS, BALAI BESAR RENUNGAN: KATA PUSAT YANG TAK PERNAH TIBA

Balai Wilayah Sungai Sumatera V adalah lembaga yang seharusnya memiliki jawaban. Tetapi balai ini seperti memiliki kemampuan menghilang saat bencana datang. Bukan salah mereka seluruhnya, kewenangan teknis kerap berbenturan dengan anggaran pusat, sinkronisasi program nasional, dan itu semua butuh waktu.

Selalu butuh waktu. Waktu yang terlalu lama dibanding kecepatan air merendam.Dalam wawancara yang tak pernah muncul di publik (karena wawancaranya tidak pernah ada), seandainya balai mau berkata jujur, mungkin mereka akan bicara begini:

“Kami ingin bekerja cepat, tapi sistem kami dibangun untuk berjalan lambat.”Sebuah kejujuran yang tragis, namun realistis.

KITA MENGUNGSI SETIAP TAHUN, TAPI BENCANA SEAKAN DIPERTAHANKAN

Pada akhirnya, tulisan ini tidak hendak menyalahkan satu pihak saja. Bencana adalah hasil dari, pilihan masa lalu, kelalaian masa sekarang, dan penundaan sistemik yang dianggap normal.

Namun ada kalimat yang terus terngiang saat menutup tulisan ini, “Bencana di Padang Pariaman bukan datang setiap tahun. Yang datang setiap tahun adalah kenyataan bahwa kita tidak pernah benar-benar belajar.”

Setiap banjir datang, warga mengungsi.

Setiap banjir berlalu, janji kembali dibuat.

Setiap tahun, semua pihak sepakat: “Ini harus diperbaiki.”

Dan setiap tahun pula, bencana datang lagi dengan wajah yang sama,,seakan dipelihara oleh sistem yang tidak pernah berubah.

Padang Pariaman tidak butuh belas kasihan.Ia butuh keberanian politik. Ia butuh ketegasan.Ia butuh normalisasi sungai yang bukan hanya wacana, tapi pekerjaan nyata.

Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa menunggu: Menunggu hujan, menunggu banjir, menunggu pejabat turun, menunggu bantuan datang, menunggu janji dibuat, menunggu janji dilupakan.

Karena di daerah ini, satu-satunya yang tidak pernah ditunda adalah bencana.Dan mungkin itulah tragedi terbesar Padang Pariaman.

*) penulis adalah wartawan Majalah Fakta, memiliki sertifikasi UKW dari Dewan Pers