Banjir Besar Padang Pariaman: Jejak Lama yang Diabaikan, Darurat Penanganan Sungai Mengintai

Banjir melanda Padang Pariaman.

FAKTA — Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Padang Pariaman sejak Sabtu, 22 November 2025, bukan sekadar cuaca buruk musiman. Dalam kurun kurang dari 36 jam, kabupaten pesisir ini berubah menjadi lanskap darurat, jalan amblas, permukiman terendam, lahan pertanian hancur, hingga puluhan titik longsor menutup akses desa. 

Namun, di balik curah hujan ekstrem, tersingkap persoalan struktural yang telah lama diabaikan: persoalan sungai, tata ruang, serta kapasitas mitigasi yang terus-menerus tertinggal dari laju kerusakan alam.

Air Bah Datang Setelah Peringatan yang Tak Pernah Selesai

Sejumlah sungai besar, Batang Anai, Batang Ulakan, Batang Tapakih, dan Batang Kamumuan, meluap hampir bersamaan. Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), fenomena banjir kali ini termasuk salah satu yang terluas dalam lima tahun terakhir, 11 Kecatamatan dan 15 nagari terdampak, dengan 438 rumah terendam dan ketinggian air mencapai 30-100 sentimeter.

Lahan pertanian seluas 93 hektare terendam air keruh. Sawah berbulan-bulan persiapan musnah, tanaman jagung yang baru ditanam luluh tanpa sisa. 

“Kerugian masih dihitung, tapi jelas ini pukulan telak bagi ekonomi warga,” ujar seorang petani di Ulakan, sambil menatap lahan yang berubah menjadi kolam lumpur.

Bukan hanya air. Lima titik longsor menutup jalan, termasuk di Nagari Anduriang dan Sikucua Barat. Dua jembatan rusak, satu sekolah, SDN 10 Batang Gasan, mengalami kerusakan parah akibat longsoran tebing.

Bupati Turun Gunung: Dari Jalan Amblas hingga Kamp Pengungsian

Pagi Minggu, 23 November 2025, Bupati Padang Pariaman John Kenedy Azis (JKA) turun langsung. Dari jalan amblas dinruas Padang Baru-Kampung Bonai, ia bergerak menuju Kampung Galapung, lokasi pengungsian darurat. Di sana, ratusan warga dari berbagai nagari Kecamatan Ulakan Tapakis memadati gedung dan tenda yang disulap menjadi dapur umum dan area istirahat.

Rombongan bupati kemudian bergerak ke Korong Surantiah, Lubuk Alung, hingga Kasang, daerah yang airnya masih menggenang setinggi lutut. JKA menyebut kondisi ini “memerlukan penanganan tidak biasa”.

“Dengan kemampuan APB kami, kami tidak sanggup memperbaiki semua yang rusak. Kami butuh pemerintah pusat. Terutama untuk normalisasi sungai, khususnya Batang Ulakan” ujar JKA di sela kunjungan.

Bupati menyebut ada tiga Kecamatan terdampak parah akibat luapan sungai itu.

Respons Darurat: Bergerak Cepat di Tengah Keterbatasan

Dalam catatan lapangan, pemerintah daerah langsung mengaktifkan pelayanan tanggap darurat berbasis kolaborasi pentahelix. Pemkab, TNI, Polri, BPBD, Dinas PUPR, Dinas Kesehatan, hingga relawan nagari.

Tim TRC PB sejak Sabtu malam telah mengevakuasi warga dengan perahu karet dan menyisir rumah yang terisolasi. Dapur umum didirikan oleh Dinas Sosial P3A, pemerintah nagari mendistribusikan nasi bungkus, sementara Puskesmas setempat membuka pos kesehatan keliling.

Di balik koordinasi ini,  Akses yang rusak membatasi mobilisasi alat berat. Dua ruas jalan utama, termasuk yang berada di depan RSUD Padang Pariaman, terputus akibat terban.

“Ini bencana yang tidak bisa ditangani sendiri,” tegas JKA.

Jejak Investigasi: Normalisasi Sungai yang Tak Kunjung Datang

Di lapangan di temukan bahwa rekomdasi normalisasi sungai besar di daerah ini telah berulang kali diajukan dalam lima tahun terakhir, dari rapat koordinasi kebencanaan tingkat kabupaten hingga provinsi. Batang Ulakan tercatat sebagai salah satu sungai dengan tingkat sedimentasi tinggi, diperparah oleh penyempitan aliran akibat pemukiman di bantaran sungai.

Namun hingga kini, belum ada intervensi besar dari pemerintah pusat melalui Balai Wilayah Sungai (BWS). Kondisi serupa terjadi pada Batang Anai dan Batang Tapakih, dua sungai yang tiap tahun masuk daftar prioritas namun tak kunjung tersentuh proyek mitigasi besar.

“Setiap musim hujan, ancaman selalu sama. Tapi upaya pencegahannya seperti jalan di tempat,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya.

Pertanyaan Besar: Sampai Kapan Mengandalkan Penanganan Darurat?

Banjir besar ini kembali menegaskan satu hal: mitigasi di Padang Pariaman masih sangat bergantung pada reaksi sesaat, bukan pencegahan jangka panjang.

Data teknis menunjukkan, wilayah dataran rendah di kabupaten ini semakin rentan pada cuaca ekstrem, yang frekuensinya naik signifikan akibat perubahan iklim. Tanpa program besar seperti normalisasi sungai, rehabilitasi hulu sungai, serta penataan ulang kawasan rawan, banjir akan terus menjadi tamu tahunan—yang datang tanpa permisi, pulang meninggalkan kerusakan.

Menuju Status Tanggap Darurat

Pemerintah daerah tengah menyiapkan usulan penetapan status tanggap darurat ke BNPB agar penanganan bisa dipercepat. Bantuan logistik, dana perbaikan infrastruktur, hingga pengerahan alat berat BWS akan sangat ditentukan oleh status tersebut.

Hingga Minggu, pukul 17.00, jumlah warga terdampak tercatat 438 kepala keluarga. Sebagian besar masih bertahan di pengungsian.

Namun bagi warga, pertanyaan terbesarnya bukan soal bantuan hari ini—melainkan kepastian apakah mereka akan selamat dari bencana yang sama tahun depan. (ss)