Indofarma, dari Kejayaan BUMN ke Jurang Pailit dan Harapan Rekonstruksi

Pagi ini kami melakukan Kunjungan Kerja Badan Aspirasi Masyarakat ke PT Indofarma Tbk di Cikarang, sebuah BUMN farmasi yang berdiri sejak tahun 1992 di atas lahan 20 hektar yang luasnya saja sudah membuat perusahaan swasta geleng kepala. Waktu itu kehadiran Indofarma (INAF) dan Indofarma Global Medica (IGM) sempat mengguncang industri, banyak yang khawatir bisnis mereka akan tersapu habis oleh raksasa baru milik negara, apalagi ketika Indofarma fokus pada OGB yang penjualannya sangat bergantung pada tender Pemerintah.

Namun sejarah ternyata memilih jalan yang berbeda. Raksasa yang dulu ditakuti ini justru perlahan menggali kuburnya sendiri. Perusahaan jatuh bangkrut akibat kerugian demi kerugian terus menumpuk bahkan di masa ketika kompetitornya justru menikmati panen laba akibat pandemi Covid 19. Sementara pemain lain meraih keuntungan, Indofarma dan IGM mencatatkan kerugian besar sampai total kewajibannya kini jauh melampaui asetnya.

Saat masih bertugas di Komisi VI DPR RI, saya sudah berulang kali menyoroti masalah BUMN Farma, termasuk Indofarma dan IGM. Akar persoalannya bukan sekadar model bisnis yang rapuh, tetapi juga perilaku koruptif manajemen masa lalu. Masih ingat tentu kasus BUMN yang terpaksa meminjam dari pinjol untuk membayar gaji karyawan. Belum lagi dana pembayaran yang seharusnya disetor ke perusahaan tetapi justru disimpan dalam deposito atas nama orang orang manajemen. Tidak heran empat orang Direksi kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di balik jeruji besi.

Kondisi terkini pun memprihatinkan. Utilisasi pabrik Indofarma hanya 5 sampai 6 persen dari kapasitas terpasang. Produk yang masih dibuat hanyalah penugasan Pemerintah seperti obat TB anak dan OBH untuk pasar Afganistan, dua produk dengan margin yang sangat tipis. Modal kerja tidak ada sama sekali, bahkan untuk membayar gaji pun perusahaan harus mengandalkan talangan dari induk usaha yaitu Biofarma. IGM sendiri sudah menjadi bangkai karena dipailitkan lewat PKPU. Kondisi ini benar benar miris.

Pertanyaan besarnya adalah apakah Indofarma akan dibiarkan menjadi catatan kaki dalam sejarah industri farmasi Indonesia atau negara akan turun tangan menyelamatkannya melalui Danantara. Apakah Danantara akan menjadi penyelamat atau malah menjadi pintu bagi drama bancakan baru. Ini menjadi PR besar bagi Danantara dan Biofarma. Yang pasti sebagai anggota BAM kami mendorong lahirnya solusi yang masuk akal, berkeadilan, dan tidak merugikan para karyawan yang bekerja dengan jujur. Para penikmat rente korupsi harus diberantas, sementara negara wajib memastikan masa depan ratusan pekerja tidak ikut terkubur bersama salah urus masa lalu.

Di ujung semua persoalan ini, ada satu pesan yang ingin saya tegaskan. Industri farmasi adalah urusan nyawa manusia, bukan tempat bermain bagi mereka yang hanya mengejar rente. Jika negara benar benar hadir, Indofarma tidak perlu berakhir sebagai monumen kegagalan, tetapi bisa bangkit kembali sebagai bukti bahwa tata kelola yang bersih dan strategi bisnis yang tepat mampu mengubah bangkai menjadi harapan. Dan di situlah sejarah baru seharusnya mulai ditulis.

Dr. Harris Turino, S.T., S.H., M.Si., M.M. – Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) dan Kapoksi PDI Perjuangan Komisi XI DPR RI