Daerah  

Anggaran yang Terpangkas, Janji yang Terlambat

FAKTA – Sore itu Kamis (2/10/2025), di Aula KH Idham Chalid, suara Gubernur Kalimantan Selatan, Muhidin, terdengar berat. Nada yang biasanya tegas kini berbaur dengan getir. Ia baru saja menerima kabar resmi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dari pemerintah pusat untuk tahun 2026 anjlok nyaris separuhnya.

Angka yang tadinya dibanggakan di RAPBD Rp9,42 triliun menciut menjadi Rp7,24 triliun. Dari ruang pertemuan di Banjarbaru itu, satu hal menjadi jelas daerah harus berhemat. Sangat berhemat.
“Yang dikurangi cukup besar. Provinsi turun 48 persen. Kabupaten Tanah Bumbu bahkan hampir 50 persen,” ujar Muhidin, menatap daftar angka yang dingin tapi menyesakkan.

Angka-angka yang Tak Pernah Berbohong

Rinciannya memang mencengangkan. Hampir semua daerah di Bumi Lambung Mangkurat terpangkas drastis. Tanah Bumbu kehilangan Rp1,4 triliun, Balangan Rp900 miliar, Tabalong Rp1 triliun. Bahkan Banjarbaru kota yang disebut-sebut jadi pusat pertumbuhan baru harus rela kehilangan sepertiga transfernya. Hanya Hulu Sungai Tengah yang agak bernapas lega penurunan “hanya” 11 persen. Tapi dalam bahasa fiskal, setiap persen adalah denyut pembangunan yang terhenti.

Soal Anggaran, Soal Kuasa

Pengurangan TKD bukan hanya tentang uang. Ia adalah soal kuasa siapa yang menentukan arah pembangunan, siapa yang harus menyesuaikan diri. Pemerintah pusat berdalih penyesuaian ini bagian dari “penataan kebijakan prioritas nasional”. Tapi di daerah, logikanya sederhana: kurang uang, kurang pembangunan. Jalan yang belum rampung tertunda, jembatan yang direncanakan ditunda, pelayanan publik tertekan. Pertanyaan pun menggantung di udara, apakah ini bentuk efisiensi… atau tanda bahwa daerah sedang kehilangan kedaulatan fiskal?

Berhemat, atau Berkorban?

Muhidin berusaha tenang. Ia menegaskan bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten harus “mengatur ulang prioritas”.
Artinya memotong perjalanan dinas, memangkas dana hibah, dan menunda proyek non-esensial.

Namun, bagi masyarakat, kata “prioritas” seringkali berubah arti. Dulu, prioritas berarti percepatan pembangunan. Kini, ia berarti penghematan dan terkadang, penundaan harapan.

“Pekerjaan yang penting tetap kita genjot,” kata Muhidin.

Tapi seberapa jauh bisa digenjot, kalau bahan bakarnya berkurang hampir separuh?

Cermin dari Politik Anggaran

Bagi pemerhati ekonomi publik, fenomena ini bukan kebetulan. TKD adalah instrumen politik sekaligus ekonomi. Saat pemerintah pusat mengubah rumusnya, dampaknya langsung terasa di dapur daerah. Kalimantan Selatan bukan satu-satunya yang terimbas, tapi ia menjadi cermin bagaimana kebijakan di Jakarta bisa membuat roda di Banua tersendat.

Yang menarik, tak ada satu pun kepala daerah yang berani secara terbuka mempertanyakan motif di balik penurunan ini. Semuanya memilih bahasa aman “penyesuaian kebijakan nasional”. Mungkin karena mereka tahu, bertanya terlalu keras pada pusat berarti bermain di wilayah sensitif yaitu politik anggaran.

Antara Janji dan Realita

TKD sejatinya adalah wujud janji pemerintah pusat untuk menjaga keseimbangan antarwilayah. Tapi ketika janji itu dikurangi, daerah seperti Kalsel harus memutar otak. Bagaimana menjaga pelayanan publik tetap berjalan? Bagaimana memastikan pembangunan tidak berhenti di tengah jalan?

Rakyat tentu tak peduli soal transfer dana. Yang mereka tahu, jalan rusak belum diperbaiki, rumah sakit masih kekurangan tenaga, dan bantuan sosial sering terlambat turun.

Dari Banua untuk Pusat, Pertanyaan yang Belum Dijawab

Kalau pembangunan adalah janji, maka pemotongan TKD adalah pengujian. Apakah janji itu masih berlaku ketika angka-angka di excel pusat berubah warna merah?
Pertanyaan itu mungkin tidak diucapkan keras oleh Gubernur Muhidin. Tapi ia bergema di tiap ruang rapat, di tiap kepala daerah yang memegang kalkulator dengan dahi berkerut. Sebab mereka tahu, daerah tak bisa hidup dari semangat saja. Dan ketika uang berkurang hampir separuh, yang diuji bukan hanya anggaran tapi iman terhadap janji pembangunan itu sendiri.
Rincian Pengurangan TKD di Kalimantan Selatan sebagai berikut :

1. Provinsi Kalsel, dari Rp4,5 tiliun menjadi Rp2,2 triliun atau berkurang 48,36 persen

2. Kota Banjarmasin, dari Rp1,4 triliun menjadi Rp1 triliun atau berkurang 26,88 persen

3. Kota Banjarbaru dari Rp966 miliar menjadi Rp616 miliar atau berkurang 36,22 persen

4. Kabupaten Balangan dari Rp2,1 triliun berkurang menjadi Rp1,2 triliun atau berkurang 45,04 persen

5. Kabupaten Tanah Bumbu dari Rp2,8 triliun berkurang menjadi Rp1,4 triliun atau berkurang 49,72 persen

6. Kabupaten Tabalong dari Rp2,3 triliun berkurang menjadi Rp1,3 triliun atau berkurang 42,76 persen

7. Kabupaten Banjar dari Rp2,1 triliun berkurang menjadi Rp1,6 triliun atau berkurang 23,91 persen

8. Kabupaten Barito Kuala dari Rp1,4 triliun berkurang menjadi Rp1,1 triliun atau berkurang 18,15 persen

9. Kabupaten Hulu Sungai Selatan dari Rp1,3 triliun berkurang menjadi Rp1,1 triliun atau berkurang 20,59 persen

10. Kabupaten Hulu Sungai Tengah dari Rp2,1 triliun berkurang menjadi Rp1 triliun atau berkurang 11,48 persen

11. Kabupaten Hulu Sungai Utara dari Rp1,3 triliun berkurang menjadi Rp1,2 triliun atau berkurang 12,9 persen

12. Kabupaten Kotabaru dari Rp2,4 triliun berkurang menjadi Rp1,7 triliun atau berkurang 28,41 persen

13. Kabupaten Tanah Laut dari Rp1,8 triliun berkurang menjadi Rp1,3 triliun atau berkurang 25,4 persen

14. Kabupaten Tapin dari Rp1,6 triliun berkurang menjadi Rp1,1 triliun atau berkurang 27,17 persen.

Dalam satu tahun fiskal, Kalimantan Selatan kehilangan hampir Rp2,2 triliun di tingkat provinsi dan total lebih dari Rp10 triliun di tingkat kabupaten/kota. Bagi rakyat, angka ini bukan statistik tapi realitas jembatan tertunda, pelayanan publik tertahan. (Stany)