Daerah  

Kontroversi Pengadaan Barang dan Jasa Desa di Kabupaten Banjar, antara Regulasi dan Realitas Lapangan

FAKTA – Kalimantan Selatan, Proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di 277 desa se-Kabupaten Banjar tengah menjadi sorotan publik. Kegiatan yang menggunakan Dana Desa (DD) dan Anggaran Dana Desa (ADD) ini diduga melibatkan intervensi dari Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Banjar. Namun, APDESI membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa semua proses telah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Ketua DPC APDESI Kabupaten Banjar, Kasmayuda, secara tegas membantah adanya intervensi dalam proses PBJ di tingkat desa. Menurutnya, APDESI hanya berperan sebagai fasilitator dan pendamping, bukan sebagai pihak yang menentukan atau mengarahkan pengadaan barang dan jasa. “Kami memastikan bahwa semua proses pengadaan dilakukan secara transparan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Kasmayuda juga menambahkan bahwa APDESI siap untuk diaudit oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kabupaten Banjar jika terdapat indikasi penyimpangan dalam penggunaan anggaran. “Jika ada temuan mark-up atau penyalahgunaan anggaran, kami siap bertanggung jawab,” tegasnya.

Di sisi lain, sikap Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Banjar menimbulkan tanda tanya. Beberapa kali dikonfirmasi, Pelaksana Tugas Sekretaris Dinas PMD Kabupaten Banjar, Eddy Elminsyah Jaya, yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Keuangan dan Aset Desa, tidak memberikan respons. Bahkan, saat dikunjungi di kantornya, tidak ada pejabat yang dapat memberikan keterangan terkait pelaksanaan PBJ desa.

Kondisi ini menambah kecurigaan publik terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran desa. Pasalnya, PBJ yang dilaksanakan di tingkat desa seharusnya mengikuti prosedur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 2 Tahun 2024, penggunaan Dana Desa untuk PBJ harus memenuhi proporsi minimal dan maksimal tertentu. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara regulasi dan implementasi. Beberapa desa melaporkan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk PBJ melebihi batas yang ditentukan, sementara kualitas barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan PBJ di tingkat desa. Apakah APDESI dan Dinas PMD Kabupaten Banjar telah menjalankan fungsi pengawasan dengan optimal? Ataukah ada celah yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu?

Proses PBJ di desa se-Kabupaten Banjar menghadirkan dilema antara kepatuhan terhadap regulasi dan realitas di lapangan. Untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik, diperlukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari semua pihak yang terlibat. APDESI dan Dinas PMD Kabupaten Banjar harus menunjukkan komitmen mereka dalam memastikan bahwa setiap rupiah anggaran digunakan dengan tepat dan sesuai dengan peruntukannya.

Masyarakat berhak mengetahui bagaimana uang negara dikelola dan digunakan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, pengawasan yang independen dan objektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa proses PBJ di desa benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. (Stany)