FAKTA – Potret buram pengelolaan bantuan sosial di Indonesia kembali terpampang jelas.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap temuan mencengangkan.
Sebanyak 571.410 Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat sebagai penerima bantuan sosial (bansos), ternyata juga aktif sebagai pemain judi online (judol) sepanjang tahun 2024.
Jumlah tersebut bukan angka kecil. Total transaksi yang dilakukan oleh ratusan ribu penerima bansos ini mencapai Rp957 miliar dengan 7,5 juta kali transaksi judi online dalam satu tahun.
Fakta ini bukan hanya mencoreng program bantuan sosial pemerintah, tetapi juga menegaskan bahwa sistem pengawasan bansos masih bocor di mana-mana.
“Jika data kami kembangkan, kemungkinan jumlahnya akan jauh lebih besar,” ungkap Koordinator Kelompok Humas PPATK, Natsir Kongah, Senin (7/7/2025).
PPATK melakukan proses pencocokan dengan menghubungkan 28,4 juta NIK penerima bansos dengan 9,7 juta NIK pelaku judi online.
Hasilnya? Terdapat 571.410 NIK yang teridentifikasi ganda, yakni sebagai penerima bansos sekaligus penjudi online aktif.
Ini bukan sekadar korelasi data. Ini adalah indikasi kegagalan sistemik, yang menunjukkan bahwa dana yang seharusnya menyasar kelompok rentan justru dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal dan merugikan.
PPATK kini bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk menindaklanjuti temuan ini.
Langkah ini menjadi penting mengingat pemerintah, melalui Kementerian Sosial, telah menyalurkan lebih dari Rp20 triliun dana bantuan sosial per 1 Juli 2025.
Rinciannya sebagai berikut:
Bansos PKH : Rp5,8 triliun untuk lebih dari 8 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat).
Bansos Sembako : Rp9,2 triliun untuk lebih dari 15 juta KPM.
Tambahan bansos (penebalan) : Rp6,19 triliun kepada 15 juta KPM.
Namun, dari jumlah masif tersebut, fakta bahwa sebagian penerimanya malah menggunakannya untuk berjudi online, mengkhianati semangat dari program perlindungan sosial itu sendiri.
PPATK juga menyoroti temuan mengenai banyaknya rekening penerima bansos yang terindikasi ‘dormant’—rekening yang tidak pernah digunakan untuk aktivitas transaksi sehari-hari selain menerima transfer bantuan.
Hal ini menimbulkan kecurigaan akan potensi pemanfaatan fiktif atau penyalahgunaan data oleh pihak-pihak tertentu untuk menghisap dana bansos.
“Temuan ini akan menjadi dasar dalam penataan ulang sistem bansos agar lebih tepat sasaran,” tambah Natsir.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sebelumnya telah menegaskan bahwa program bansos harus tepat sasaran dan bebas dari penyimpangan.
Namun, temuan ini menunjukkan bahwa reformasi data penerima bansos masih menjadi pekerjaan rumah besar, yang menuntut kolaborasi antar lembaga—PPATK, Kemensos, Dukcapil, hingga penegak hukum.
Judi online adalah kejahatan digital yang menggerogoti ekonomi rakyat bawah dan merusak moral sosial.
Jika dana bansos — uang rakyat — justru menjadi bahan bakar utama praktik haram ini, maka penindakan tak bisa lagi ditawar.
Negara harus hadir, bukan sekadar menyalurkan bansos, tapi juga memastikan bahwa setiap rupiah dari anggaran sosial tidak jatuh ke lubang perjudian digital.
Tak cukup hanya validasi data, dibutuhkan keberanian untuk menindak oknum internal, memblokir rekening mencurigakan, serta mengevaluasi ulang sistem distribusi bansos.
Rakyat miskin seharusnya dibantu, bukan dijadikan tameng untuk transaksi kotor. (Laporan : F1 || majalahfakta.id)






