FAKTA – Kelulusan bisa menjadi momen haru dan kebanggaan, bukan beban finansial yang mencekik.
Namun, ironi itulah yang kini dirasakan para orang tua siswa di SMP Negeri 5 Kabupaten Banyuasin, setelah sekolah menetapkan iuran wajib perpisahan sebesar Rp350.000 per siswa—angka yang terasa mengiris di tengah himpitan ekonomi.
Jika dikalikan dengan ratusan siswa, nominal yang terkumpul bukan sekadar biaya seremonial, tetapi bisa menjurus pada pertanyaan serius: ada apa di balik pesta kelulusan ini?
Fakta mencuat ke publik melalui laporan investigatif majalahfakta.id yang diterbitkan pada 20 Mei 2025 berjudul “Menjelang Kelulusan dan Penerimaan Siswa/i Baru Jadi Keluhan Orang Tua”.
Dalam laporan tersebut, banyak wali murid merasa tertekan dengan kewajiban membayar pungutan tersebut, terlebih tanpa ada ruang diskusi atau alternatif.
“Kami tidak sanggup, tapi seperti dipaksa. Anak saya sudah lulus, tapi malah ditagih uang perpisahan,” ujar salah satu orang tua dengan nada getir saat diwawancara tim media ini.
Menyikapi itu, media mencoba menghubungi Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Banyuasin.
Nomor telepon pribadi pun dihubungi pada 21 Mei 2025, dengan harapan adanya pernyataan resmi yang bisa memberi arah dan kejelasan. Namun jawaban tak kunjung datang. Sunyi. Sepi. Bungkam.
Sementara itu, pihak sekolah berdalih bahwa persoalan ini telah diserahkan kepada komite sekolah dan para wali murid.
Wakil Kepala Sekolah, Adi, saat dihubungi menyatakan bahwa sekolah tidak turut campur lebih jauh karena hal ini dianggap sebagai “inisiatif komite.”
Namun fakta di lapangan berkata lain. Tak ada transparansi, tak ada dialog terbuka. Yang ada hanyalah surat edaran, nominal yang sudah ditentukan, dan kalimat “bersifat wajib” yang membuat para orang tua terpojok, apalagi bagi mereka yang hidup pas-pasan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya telah mengambil sikap tegas: melarang pesta perpisahan dan study tour yang berpotensi membebani orang tua murid.
Kebijakan ini lahir dari kepedulian terhadap realitas sosial, sesuatu yang justru absen di Banyuasin, di mana suara keluhan rakyat seperti ditelan diam para pejabat.
“Kami hanya ingin anak kami sekolah, bukan menyewa gedung mewah untuk berpisah,” ucap seorang wali murid lain, yang mengaku terpaksa meminjam uang demi iuran tersebut.
Pertanyaan besar pun muncul: Di mana tanggung jawab pemerintah daerah? Apakah suara rakyat hanya didengar saat kampanye dan dilupakan ketika rakyat meminta keadilan?
Sampai berita ini diturunkan, Sekda Banyuasin belum memberikan tanggapan apa pun. Pihak sekolah pun tetap bergeming, seolah pesta lebih penting daripada empati.
Kini masyarakat menanti. Bukan jawaban basa-basi, tapi tindakan nyata. Karena ketika kelulusan berubah menjadi beban, maka yang gagal bukan hanya siswa—tapi juga sistem yang membiarkannya. (Laporan : ito || majalahfakta.id)






