FAKTA – Di Dusun Beton, Desa Patereman, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tersimpan cerita hidup yang mengharukan tentang seorang penjahit pakaian bernama Matdoro. Pada Minggu (28/07/2024), Majalah FAKTA menjelajahi kehidupan Matdoro yang penuh perjuangan dalam menghidupi dua anaknya setelah ditinggal istri tercintanya.
Dalam rumah sederhana Matdoro, diasapi dengan aroma rokok dan secangkir kopi hitam, kami duduk bersamanya untuk mendengarkan kisah yang ia bagi. Dengan mata berkaca-kaca yang merefleksikan perjalanan hidupnya yang tak mudah, Matdoro dengan penuh emosi menceritakan perjuangannya sebagai sosok duda selama 5 tahun ini.
“Saya percaya hidup harus terus berjalan, kita tak boleh menyerah. Hidup adalah perjalanan yang harus dilalui dengan keikhlasan. Syukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Sang Pencipta, karena rezeki dan takdir telah ditetapkan-Nya,” ujar Matdoro kepada kami.
Dalam kesederhanaannya sebagai seorang tukang jahit, Matdoro menekankan pentingnya bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini. Meskipun penghasilannya tak menentu dan harus berbagai dengan ketersediaan pelanggan, ia tetap menerima apapun dengan lapang dada.
“Penghasilan saya sebagai penjahit kadang besar, kadang sedikit, tergantung pada kehadiran pelanggan. Namun, kami bersyukur atas segala rezeki yang tercurah. Kami tidak pernah putus asa, meskipun kondisi tidak selalu memihak,” ungkap Matdoro sambil mengisap rokoknya.
Menghidupi dua anak dengan penghasilan yang terbatas menjadi tantangan tersendiri baginya. Meskipun uang yang didapat dari pekerjaannya sebagai penjahit seringkali tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, Matdoro tetap tegar dan bersyukur atas apapun yang ada.
Sebelum mengakhiri wawancara, Matdoro menyampaikan harapannya melalui media ini. Selama 5 tahun terakhir, ia belum pernah menerima bantuan dari program bansos pemerintah. Meskipun demikian, ia tidak mengharapkan bantuan dari siapapun asalkan masih bisa bekerja dengan keras. Matdoro ingin terus menggeluti pekerjaannya sebagai tukang jahit tanpa membebani orang lain, karena baginya, menjaga kekuatan dan kemandirian adalah harga yang lebih berharga dari segalanya. (hh/soleh)






