Semua  

ONSLAG VAN RECHTVERVOLGING ATAS MANTAN DIRUT PERTAMINA DALAM PERSPEKTIF LAW IN BOOKS & LAW IN ACTION

Karen Agustiawan.
Karen Agustiawan.

MAHKAMAH Agung (MA) Republik Indonesia (RI) sebagai peradilan tertinggi di Indonesia, pada tanggal 9 Maret 2020 dalam kasasi terhadap terdakwa Karen Agustiawan, mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, yang pada pengadilan tipikor tingkat pertama telah dijatuhi putusan pidana penjara 8 (delapan) tahun, kemudian dalam tingkat banding telah dijatuhi pidana tambahan denda Rp 1 milyar, subsider 4 bulan kurungan, telah menjatuhkan putusan melepaskan Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum.

Tentunya bagi masyarakat pada umumnya terutama organisasi dan perorangan pegiat anti korupsi, juga pegiat pencehagan anti korupsi (GNPK) tertegun sejenak, dalam konteks adilkah putusan MA tersebut ?

Dalam optik adil dan atau tidak adil inilah bagaimana teori/prinsip hukum yakni law in books menjadi batu uji dalam penerapan hukum oleh hakim di pengadilan melalui putusannya yakni law in action. Dalam perspektif ini dalilnya adalah bilamana law in action sesuai dengan law in books maka itulah keadilan. Tetapi bila law in action tidak mencerminkan law in books maka tidak ada keadilan, sehingga ditengarai terjadinya peradilan sesat.

Law in books menyatakan antara lain bahwa peristiwa hukum perdata tidak dapat dipidana. Dalam pertimbangan hukum MA menyatakan tindakan/perbuatan terdakwa Karen Agustiawan dilindungi oleh prinsip hukum “busniss judgment rule”, yang merupakan prinsip dalam perdagangan, di mana untung-rugi adalah suatu resiko, bukan merupakan suatu tindak pidana. Kasus ini terkait dengan investasi PT Pertamina pada Bloc Baster Manta Gami (BMG) di Australia. Putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding adalah sebagai salah satu bentuk tindakan hakim telah melakukan “over criminalisation” dalam hal commercial kontrak yang mengau pada UPICC (Unidroit Princples forInternational Comercial Contrac) di mana para pihaknya berorientasi pada tujuan “profit motive”. Dalam hal ini bilakah suatu kasus didekati secara kepidanaan ataukah secara keperdataan jelas sangat penting, dalam rangka menjamin penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) dan penciptaan iklim kepastian hukum dalam masyarakat yang berusaha. Oleh karena itu kita harus beranjak dari “opinio Doctorum” Prof Dr Agus Yudha Hernowo : ”Hasil akhir suatu pertukaran kepentingan harus diuji berdasarkan proses pertukaran hak itu sendiri”. Demikian pula Prof Dr Peter Mahmud Marzuki : “Kalau kontrak sudah selesai tidaklah elok untuk dicari-cari unsur pidananya”.

Praktek “over criminalization” terjadi karena adanya ketidaktaatan para penegak hukum pada  asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Untuk itu patut untuk dicermati pendapat Huzak yaitu tidak dikehendaki adanya over criminalization karena : “over criminalization almost certainly rusult in too much punishment-punishment that is underserved and unjustified, overcriminalization threatens the rule of law”.

Dari optik pengadaan barang dan jasa pemerintah/jasa kontruksi, yang berpedoman pada kontrak kerja konstruksi, kriminalisasi atas perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi oleh legislator yang eksesif, sehingga dalam praktek dapat dengan mudah menjadi pemicu timbulnya tindakan sewenang-wenang dalam penegakan undang-undang dengan menjadikan pihak-pihak dalam hubungan kontraktual dengan pemerintah sebagai pelaku tindak pidana korupsi jika ditemukan adanya unsur kerugian keuangan negara.

Berpedoman pada rumusan dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor adalah praktik penegakan hukum pidana  yang berlebihan atau tidak proporsional (over criminalization). Pembatasan dalam pasal 14 UU Tipikor, sama sekali tidak diindahkan oleh penegak hukum KPK. Hal ini menjadi konsern Dr Marthen H Toelle BcHk SH MH dalam mencapai gelar tertinggi akademisnya pada Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 2016, dengan judul “Tindak Pidana Korupsi Dalam Kontrak Kerja Konstruksi Antara Pemerintah Sebagai Pengguna Jasa Dengan Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi”, dinyatakan : “Di dalam kontrak kerja konstruksi tidak ada indikasi tindak pidana korupsi”. Pada kesimpulan disertasi (2016) disampaikan saran dan rekomendasi : 1. Penegakan UU Tipikor harus didasarkan pada hakekat pembedaan antara hukum privat dan hukum publik (hukum administrasi, hukum pidana) dan secara khusus harus memahami hakikat kontrak kerja konstruksi yang tunduk pada UU Jakon (UU 18/1999). Oleh karena itu jika terjadi kerugian keuangan negara dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi dengan pemerintah sebagai pengguna jasa dengan penyedia jasa pelaksana konstruksi, maka hal itu tidak dapat dikenakan ancaman sanksi pidana  berdasarkan UU Tipikor, khususnya pasal 2 ayat (1) dan pasal 3, tetapi melalui instrumen keperdataan yang ada yaitu aturan adanya cidera janji. Dalam revisi UU Jakon (18/1999) yang akan datang, seharusnya tidak dikaitkan dengan tindak pidana korupsi karena akan menghambat proses pengadaan jasa konstruksi. Hal ini telah terpenuhi terbukti dalam UU Jakon yang baru UU No.2 Tahun 2017 diakomodir dan dinyatakan dalam pasal 40 : “Ketentuan mengenai pengikatan di antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum keperdataan kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Berdasarkan ratio decidendi MA atas putusan melepaskan Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum adalah berkeadilan, telah sesuai dengan KUHAP pasal 191 ayat (2) : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (ONSLAG VAN RECHTVERVOLGING).

Dalam hal ini menurut saya, putusan MA tersebut sangat dogmatis berdasarkan prinsip/teori hukum yang telah dituangkan oleh legislator dalam KUHAP. Demikian juga pendapat para ahli, bukan karena bersifat progresif, kreatif dan non dogmatis, karena ratio decidendi pada aturan hukum yang berlaku bukan karena adanya penemuan atas teori hukum baru sehingga dikatakan progresif dan non dogmatis. Bahwa putusan ini hendaknya menjadi acuan para hakim, karena di tangan merekalah penafsiran atas suatu undang-undang dan prinsip/teori hukum atas kasus yang dihadapi adalah pada tataran tertinggi sehingga wajib diikuti para hakim. Hal ini tentu sangat bebeda dengan penyidik dan penuntut umum yang tidak berlaku asas praduga tak bersalah, karena jika diterapkan maka tidak akan ada tersangka yang diajukan ke pengadilan. Asas ini hanya dipegang dan dipahami oleh Advokat dalam mendampingi, membela kliennya, dan Hakim dalam menerapkan law in action yang sejalan, selaras, dengan law in books agar hasil akhir keadilan dinikmati oleh masyarakat. “Fiat collum Fiat Justitia”.

Oleh :

Dr. Marthen H. Tolle, BcHk SH MH.

Praktisi